Bontang – Di tengah meningkatnya angka perceraian, Pengadilan Agama (PA) Bontang mengambil langkah progresif untuk memastikan hak anak dan perempuan pasca-perceraian benar-benar terlindungi. Ketua PA Bontang, Nor Hasanuddin, Lc., M.A., menegaskan komitmen tersebut dalam presentasi di hadapan jajaran PT Kaltim Industrial Estate (KIE), Senin (6/10/2025).
“Perceraian memang memutus hubungan suami istri, tapi tidak boleh memutus hak anak dan perempuan. Itu prinsip yang kami pegang di PA Bontang,” ujar Hasanuddin penuh penekanan. Menurutnya, perlindungan hak ini bukan sekadar formalitas hukum, melainkan kebutuhan nyata demi keberlangsungan hidup keluarga dan masa depan anak-anak Indonesia.
Langkah PA Bontang berpijak pada sejumlah regulasi kuat, seperti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (jo. UU No.16 Tahun 2019), Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.3 Tahun 2017, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1/2017 dan No.2/2019. Ditambah dengan Surat Edaran Dirjen Badilag 2021, semua aturan itu menjadi fondasi hukum bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan berpihak pada pihak rentan.
Menurut Hasanuddin, aturan-aturan tersebut mengukuhkan posisi hakim agar tidak hanya menjadi pelaksana hukum, tetapi juga pelindung moral bagi perempuan dan anak yang terdampak perceraian.
“Empat hak utama yang wajib dipenuhi mantan suami adalah nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak. Ini sering jadi sumber perdebatan di pengadilan, tapi kami memastikan semuanya terakomodasi dalam putusan,” jelasnya.
Data perkara di PA Bontang menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam penerapan pembebanan nafkah. Tahun 2022, dari 567 perkara perceraian, hanya 91 putusan (16%) yang memuat pembebanan nafkah. Namun angka itu melonjak menjadi 43% pada 2025, atau 134 perkara dari total 309 kasus.
“Lonjakan ini bukan hanya angka statistik,” tegas Hasanuddin. “Ia mencerminkan dua hal: kesadaran hukum masyarakat yang meningkat dan konsistensi hakim dalam menjamin hak perempuan serta anak.
Dalam praktiknya, PA Bontang menggunakan tiga jalur untuk memastikan hak-hak ini tercantum dalam putusan: kumulasi gugatan, mediasi, dan rekonvensi. Jalur kumulasi menjadi pilihan paling efektif karena semua tuntutan disidangkan bersamaan dengan gugatan perceraian.
Selain itu, pengadilan menerapkan sistem ketat dalam pelaksanaan putusan. Dalam cerai talak, suami tidak dapat mengucapkan ikrar talak sebelum melunasi kewajiban nafkah, sementara pada cerai gugat, akta cerai tidak bisa diambil sebelum semua kewajiban terpenuhi.
Meski demikian, Hasanuddin mengakui masih ada hambatan besar: eksekusi nafkah anak. Hingga kini, belum ada aturan Mahkamah Agung yang secara khusus mempercepat proses eksekusi tersebut. Akibatnya, pengadilan harus menggunakan mekanisme lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 215 RBg, yang dinilai memakan waktu dan biaya tinggi.
“Banyak ibu harus menunggu lama untuk memperoleh hak anaknya. Hal ini jelas kontraproduktif terhadap upaya negara dalam melindungi masa depan generasi muda,” keluh Hasanuddin.
Untuk menjawab tantangan itu, PA Bontang melakukan terobosan kerja sama dengan PT Kaltim Industrial Estate (KIE). Melalui kolaborasi ini, jika pihak tergugat merupakan karyawan PT KIE, maka pembayaran nafkah dapat dilakukan secara otomatis melalui pemotongan gaji oleh bendahara perusahaan.
Prosesnya berjalan sistematis: setelah gugatan disertai tuntutan nafkah, PA Bontang meminta slip gaji dari PT KIE, dan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, salinan dikirim ke perusahaan. Bendahara kemudian memotong gaji sesuai amar putusan dan mentransfer dana langsung ke rekening mantan istri atau anak.
“Kerja sama ini bukan hanya menjamin kepastian hukum, tapi juga mendukung program nasional pencegahan stunting. Anak-anak berhak atas gizi dan pendidikan yang layak meski orang tuanya berpisah,” terang Hasanuddin.
Namun, jika mantan suami bukan karyawan PT KIE, PA Bontang tetap memiliki mekanisme lain. Dalam kasus cerai talak, suami diberi tenggat enam bulan untuk melunasi kewajiban sebelum ikrar talak diucapkan. Sedangkan dalam cerai gugat, akta cerai baru dapat diterbitkan setelah seluruh kewajiban nafkah dibayarkan.
Untuk mempertegas pelaksanaan hukum, setiap amar putusan kini ditulis dengan angka nominal yang eksplisit pada komponen nafkah madhiyah, iddah, mut’ah, dan nafkah anak. “Dengan amar yang tegas, pelaksanaan putusan lebih sederhana dan tidak menimbulkan multitafsir,” jelasnya.
Hasanuddin juga menekankan bahwa PA Bontang sedang membangun Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) sebagai bagian dari komitmen reformasi birokrasi. Ia mengimbau masyarakat untuk melapor langsung melalui Sistem Pengawasan (SIWAS) Mahkamah Agung bila menemukan penyimpangan layanan.
“Integritas adalah kunci. Kami tidak ingin keadilan keluarga ternoda oleh praktik tidak transparan. Pengadilan harus menjadi rumah yang aman bagi pencari keadilan,” ujarnya menegaskan.
Langkah-langkah konkret PA Bontang ini menjadi bukti bahwa lembaga peradilan agama tidak hanya menjalankan prosedur hukum, tetapi juga memainkan peran sosial dalam memperjuangkan kesejahteraan keluarga pasca-perceraian.
“Perlindungan anak dan perempuan bukan isu pinggiran, melainkan inti dari keadilan sosial. Kami ingin memastikan tidak ada anak yang kehilangan haknya hanya karena rumah tangganya berakhir,” pungkas Hasanuddin dengan nada penuh tanggung jawab.
Upaya progresif PA Bontang ini kini menjadi contoh nasional bagi pengadilan agama lain dalam menghadirkan inovasi hukum yang berpihak pada kemanusiaan. Dengan dukungan berbagai pihak, langkah mereka menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar putusan di atas kertas, melainkan kepastian hidup yang dirasakan oleh setiap anak dan perempuan Indonesia.