Akar maritim kuat menjadi identitas awal Bontang, jauh sebelum dikenal sebagai kota industri. Komunitas Bugis, Mandar, dan Bajau telah lebih dulu menorehkan jejak di pesisir Kalimantan Timur ini, menanamkan warisan budaya laut yang masih hidup hingga kini. Dari rumah panggung di atas air hingga konsep hidup selaras dengan pasang-surut, Bontang dibentuk oleh migrasi lintas laut, bukan sekadar perencanaan tata kota modern.
Sejak abad ke-17, migrasi pelaut dan pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan mengalir ke pesisir timur Kalimantan. Runtuhnya Makassar (1667) menjadi titik tolak diaspora ini. Gelombang ini tak hanya menanam koloni, tapi juga membangun jaringan dagang dan komunitas pelaut yang mengakar di sekitar Delta Mahakam. Salah satu penelitian mencatat pemukiman awal di Teluk Pandan pada 1956, yang kemudian berkembang menjadi area strategis Pupuk Kaltim.
“Sejak sebelum industri masuk, kami sudah hidup berdampingan dengan laut, menangkap ikan, bercocok tanam, dan menjalin perdagangan kecil,” jelas H. Rahman, sesepuh kampung yang berasal dari keturunan Bugis. Ia menggambarkan bagaimana kehidupan warga menyatu dengan alam, tanpa memisahkan darat dan laut sebagai batas.
Tak hanya Bugis, komunitas Mandar dari Sulawesi Barat turut menjejak di Bontang. Kampung Malahing, yang berdiri di atas laut dekat Bontang Kuala, adalah bukti hidup migrasi mereka. Awalnya hanya tempat persinggahan nelayan Mamuju, Malahing kini menjadi permukiman tetap dengan rumah-rumah panggung berderet di atas air. Sebuah ruang hidup unik yang tetap bertahan meski arus modernisasi menggoda anak mudanya ke daratan.
Di Bontang Kuala, warisan Bajau tampak nyata. Komunitas maritim ini telah lama menetap di wilayah pasang-surut, menciptakan sistem ruang hidup yang fleksibel dan tangguh terhadap perubahan alam. Titian kayu, dermaga kecil, dan perahu tradisional bukan sekadar alat mobilitas, tapi representasi dari “arsitektur ekonomi” khas pesisir. Filosofi hidup ma’danaka, yang berarti saling menjaga dalam komunitas, memperkuat jaringan sosial antar-etnis di Bontang.
Memasuki era industri, wajah Bontang berubah drastis. Didirikannya Badak LNG (1974) dan Pupuk Kaltim (1977) membuka babak baru migrasi: dari migrasi maritim ke migrasi kerja. Pekerja dari berbagai penjuru Nusantara datang, membawa warna baru dalam struktur sosial kota. Namun, jejak Bugis–Mandar–Bajau tak tergeser. Justru mereka menjadi jembatan kultural antara masa lalu dan modernitas.
Bahasa, istilah, dan relasi sosial yang terbentuk dari jaringan antar-kampung laut masih digunakan hingga kini. Anak-anak diajari menyapa dengan dialek khas dan memahami pentingnya hidup saling bantu. Kampung panggung tetap berdiri teguh, bahkan menjadi daya tarik wisata yang digarap pemerintah kota untuk promosi budaya.
Warisan keterampilan maritim pun tidak pudar. Di tengah industrialisasi, banyak warga tetap menggantungkan hidup pada laut: menangkap ikan, mengolah hasil laut, atau mengembangkan wisata bahari. Inilah bukti bahwa tradisi dan inovasi bisa berdampingan.
Bontang bukan sekadar kota industri berbasis gas dan pupuk. Ia adalah kota laut yang dibangun dari daya jelajah tiga komunitas pelaut ulung. Di antara pasang dan surut, mereka menanam akar, membangun rumah, dan membentuk ruang hidup yang tidak lekang oleh zaman.
