Kota persinggahan ini berada di antara laut dan sungai, di mana arus pelayaran dan perdagangan bersilangan. Terletak di pesisir timur Kalimantan, Bontang menjadi simpul penting dalam jalur niaga antara pedalaman Kalimantan dan perairan Selat Makassar—koridor pelayaran yang menghubungkan banyak pulau di Indonesia Timur.
Pada masa lalu, peran Bontang ditentukan oleh posisi geografisnya yang strategis: bersebelahan dengan Delta Mahakam dan menghadap langsung ke Selat Makassar. Dua jalur ini menjadi poros utama mobilitas orang dan barang. Barang dari pedalaman—seperti rotan, damar, hingga gaharu—mengalir ke pesisir melalui Sungai Mahakam, lalu ditukar dengan hasil laut dan dikirim melintasi laut ke Sulawesi dan Makassar.
“Delta Mahakam merupakan jalur vital penghubung pedalaman dan pesisir. Ia ibarat tol air sejak zaman kolonial,” tulis riset dari Atlantis Press, yang mengungkap pentingnya sistem transportasi sungai di wilayah ini.
Tak hanya soal jalur, arus manusia juga ikut membentuk identitas Bontang. Komunitas pelaut seperti Bugis dan Bajau menjadi aktor utama dalam dinamika ekonomi. Para pelayar Bugis membawa beras dan barang dagangan dari Makassar, ditukar dengan teripang, agar-agar, serta hasil hutan dari Kalimantan. Komunitas Bajau, yang dikenal sebagai “pengembara laut”, tinggal di rumah-rumah panggung di kampung seperti Bontang Kuala dan memfasilitasi pertukaran antara laut dan darat.
Dalam jaringan perdagangan tersebut, komoditas utama seperti trepang (teripang) menjadi andalan. Setelah dikeringkan, trepang dikirim ke Makassar lalu ke pasar ekspor, terutama Tiongkok. Sementara agar-agar dari rumput laut dan hasil hutan dari Mahakam memperkuat peran pelabuhan kecil seperti Bontang sebagai titik temu ekonomi darat-laut.
Meski perdagangan produk penyu seperti sisik dan telur kini ilegal, dokumen sejarah mencatat bahwa komoditas ini dahulu juga ikut diperdagangkan secara aktif di kawasan pesisir timur Kalimantan. Kini, aspek itu menjadi catatan penting dalam narasi sejarah ekonomi lokal.
Peran Bontang terus berlanjut. Memasuki abad ke-20, jalur niaga tradisional bertransformasi seiring berkembangnya industri migas di kawasan Mahakam dan pesisir timur. Kota ini menjadi salah satu pusat industri gas dan pupuk, mengubah jenis muatan dari komoditas alam menjadi energi dan manufaktur. Namun, peran Bontang sebagai simpul logistik tetap lestari.
“Dulu membawa damar dan rotan, kini mengalirkan gas dan pupuk. Tapi jalurnya tetap: Mahakam ke laut,” ungkap laporan dari Search and Discovery mengenai transformasi ekonomi wilayah ini.
Kampung Bontang Kuala menjadi simbol dari adaptasi ini: tetap hidup di atas air, tetap melayani laut. Struktur kampung yang terhubung dengan jembatan titian dan dermaga kecil mencerminkan tata ruang yang diciptakan untuk efisiensi niaga. Dari masa ke masa, kota ini menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menyesuaikan diri—tanpa kehilangan identitas maritimnya.
Perjalanan panjang Bontang dari pusat pengumpulan hasil laut dan hutan, hingga menjadi simpul logistik energi modern, memperlihatkan satu hal: bahwa kota ini bukan sekadar tempat transit, tapi juga ruang hidup yang adaptif dan tangguh menghadapi zaman.
