Jejak masa lalu di Bontang menyimpan kisah menarik tentang perubahan besar yang dimulai dari kesederhanaan. Setelah Proklamasi 1945, kampung pesisir ini masih menjadi bagian dari Kabupaten Kutai, jauh dari hiruk-pikuk kota modern. Namun, perlahan Bontang membentuk identitas baru—sebagai cikal bakal kota industri di Kalimantan Timur.
Seiring terbentuknya Provinsi Kalimantan Timur pada 1956 melalui UU No. 25 Tahun 1956, dan penetapan Kabupaten Kutai lewat UU No. 27 Tahun 1959, Bontang tetap bertahan sebagai desa nelayan. Lokasinya yang strategis di pesisir, terutama kawasan Bontang Kuala, menjadikannya pusat aktivitas perikanan tangkap dan perdagangan kecil antar kampung.
Warga membangun rumah panggung dan titian ulin di atas air sebagai adaptasi terhadap pasang surut. Kehidupan pun berlangsung dengan ritme maritim yang khas. Kapal-kapal kecil bersandar, hasil laut ditukar di pasar lokal, dan warga hidup berdampingan dengan laut sebagai sumber rezeki.
“Struktur rumah panggung dan titian ulin itu bukan hanya simbol budaya, tapi juga strategi bertahan,” terang arsip Pemerintah Kota Bontang yang mencatat perubahan sosial sejak era 1950-an.
Memasuki era 1960-an, status Bontang naik menjadi kecamatan. Di bawah kepemimpinan asisten wedana seperti Abdul Samad P. Soraja (1969–1973), pemerintahan mulai lebih tertata. Kantor, sekolah, dan sistem pelayanan publik mulai dibangun. Ini menjadi titik tolak formalisasi struktur kota.
Kemudian, pada 1973, peristiwa penting terjadi: pusat pemerintahan yang semula di atas laut dipindahkan ke daratan—tepatnya ke kawasan yang kini dikenal sebagai Api-Api/Rawa Indah. Pemindahan ini bukan sekadar perpindahan lokasi, tapi juga simbol transisi dari desa pesisir ke embrio kota modern.
Meski kecil, Bontang sudah dihuni masyarakat multietnis: Bugis, Bajau, Mandar, Kutai, dan lainnya. Jaringan maritim membawa masuk berbagai budaya, memperkaya kehidupan sosial lokal. Modal sosial ini terbukti menjadi kekuatan saat kota memasuki era industri.
Pada awal 1970-an, survei energi dan investasi besar mulai masuk. Tak lama setelah itu, berdirilah dua industri raksasa: Badak LNG (1974) dan Pupuk Kaltim (1977). Tapi tak banyak yang tahu, bahwa pondasi kota industri itu sesungguhnya telah dimulai jauh sebelumnya—dari perkampungan nelayan, titian ulin, dan penguatan sistem administrasi lokal.
Bontang masa kini mungkin dikenal karena gas dan pupuknya. Tapi, seperti pepatah: “Kalau ingin menatap jauh ke depan, jangan lupa melihat ke belakang.”
