Pengangkatan menteri dan wakil menteri dalam jumlah berlebihan, plus jabatan-jabatan baru yang tidak penting oleh Presiden Prabowo telah memicu kontroversi dan keprihatinan publik. Kebijakan yang cenderung memperluas birokrasi tanpa alasan jelas ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efisiensi pemerintahan dan tanggung jawab pemimpin terhadap pengelolaan anggaran publik.
Jika pengangkatan tersebut hanya menjadi alat untuk membalas jasa politik atau mempertahankan kepentingan kelompok tertentu, maka keputusan ini sesungguhnya merupakan penyalahgunaan wewenang yang memengaruhi kualitas dan efektivitas pemerintahan.
Penambahan sejumlah besar pejabat tinggi dalam kabinet Prabowo menyiratkan adanya pola yang tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang lain yang sering kali melibatkan pejabat publik. Ketika tokoh-tokoh berpengaruh ditunjuk tanpa mempertimbangkan kompetensi atau kebutuhan fungsional, pengangkatan tersebut cenderung mencerminkan kepentingan politik dan akomodasi aliansi. Ini bukan sekadar masalah hak prerogatif presiden, tetapi soal bagaimana hak itu digunakan secara etis.
Dalam kasus Tom Lembong, dugaan penyalahgunaan wewenang muncul dari tindakan memanfaatkan posisi untuk mengarahkan proyek bagi kepentingan kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan kebutuhan publik.
Dalam kasus Prabowo, jika pengangkatan menteri dan wakil menteri dilakukan dengan tujuan mempertahankan kesetiaan politik, hal ini mencerminkan pola penyalahgunaan yang serupa. Ketika jumlah menteri dan wakil menteri bertambah tanpa urgensi, kabinet menjadi terlalu gemuk, mengurangi efektivitas, meningkatkan biaya, dan akhirnya merugikan rakyat yang harus menanggung beban anggaran yang lebih besar.
Menambah jumlah pejabat tinggi tentu berdampak langsung pada anggaran negara. Setiap posisi menteri dan wakil menteri membutuhkan fasilitas, gaji, tunjangan, dan dana operasional yang tidak sedikit.
Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan apakah pembengkakan birokrasi ini benar-benar sejalan dengan tujuan efisiensi dan penghematan anggaran. Semestinya, anggaran negara lebih difokuskan untuk kebutuhan yang lebih mendesak dan berdampak langsung pada masyarakat, seperti sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur.
Jika pemerintahan justru menambah beban dengan memperbesar struktur kabinet, bukan tidak mungkin akan terjadi defisit anggaran yang lebih dalam. Beban ini pada akhirnya ditanggung oleh rakyat melalui pemotongan anggaran sektor lain atau kebijakan fiskal yang berdampak pada layanan publik.
Dengan begitu, keputusan presiden untuk menambah menteri dan wakil menteri tanpa kebutuhan nyata ini dapat dianggap sebagai bentuk pengelolaan anggaran yang tidak bertanggung jawab.
Secara hukum, presiden memang memiliki hak prerogatif untuk memilih dan mengangkat menteri. Namun, dalam konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), setiap keputusan harus memiliki dasar yang jelas dan dijalankan dengan mempertimbangkan kepentingan publik.
Penyalahgunaan wewenang bukan hanya berarti pelanggaran hukum, tetapi juga terkait dengan penggunaan kekuasaan yang tidak sesuai dengan mandat dan harapan rakyat.
Dalam hal ini, penggunaan hak prerogatif untuk menunjuk menteri dalam jumlah berlebih mencerminkan lemahnya akuntabilitas dan kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan. Kebijakan ini juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan, karena masyarakat dapat melihat bahwa keputusan yang diambil tidak selalu sejalan dengan kepentingan mereka.
Keputusan yang cenderung mengakomodasi kepentingan politik akan menimbulkan persepsi bahwa kepemimpinan lebih mengutamakan stabilitas koalisi politik daripada efisiensi dan akuntabilitas.
Jika pemerintah benar-benar berkomitmen pada prinsip pemerintahan yang bersih dan efisien, maka pengangkatan pejabat tinggi harus dilakukan dengan transparansi yang lebih besar dan berdasar pada kebutuhan, bukan kepentingan politik. Struktur kabinet perlu direformasi agar lebih ramping, responsif, dan berorientasi pada kinerja.
Pemerintah kan dapat mengoptimalkan peran kementerian dan lembaga yang sudah ada tanpa harus menambah pejabat baru yang justru memperumit birokrasi.
Pengawasan oleh lembaga independen dan transparansi dalam setiap proses pengangkatan menteri dan wakil menteri sangat penting agar masyarakat dapat memahami tujuan di balik setiap keputusan yang diambil.
Selain itu, pejabat yang diangkat harus melalui seleksi ketat berdasarkan kompetensi, bukan hanya loyalitas politik. Dengan demikian, kabinet dapat diisi oleh tokoh-tokoh yang benar-benar berkualitas dan memiliki dedikasi pada pelayanan publik.
Penyalahgunaan wewenang dalam bentuk pengangkatan menteri dan wakil menteri yang berlebihan oleh Presiden Prabowo menunjukkan bahwa kebijakan publik bisa jadi lebih mengedepankan kepentingan politik daripada kepentingan rakyat. Kebijakan ini tidak hanya membebani anggaran, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang seharusnya berkomitmen pada prinsip akuntabilitas dan efisiensi.
Langkah-langkah preventif seperti transparansi dalam pengangkatan pejabat dan reformasi birokrasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa pemerintahan tetap berada dalam jalur yang sesuai dengan kepentingan rakyat. Pemerintahan yang efektif bukanlah yang besar, tetapi yang mampu bekerja dengan struktur ramping dan efisien.
Sebagai pemimpin, Prabowo harus menyadari bahwa penggunaan wewenang memiliki tanggung jawab besar terhadap rakyat, dan setiap keputusan yang diambil bukan hanya mencerminkan kebijaksanaan politik, tetapi juga integritas dalam mengelola negara.