Mojokerto – Kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh seorang guru ngaji di Kabupaten Jombang kembali mengguncang publik. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Jawa Timur menyatakan kutukan keras terhadap perbuatan pelaku yang dianggap mencoreng martabat pendidik agama dan merusak citra Jombang sebagai kota santri.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Jawa Timur, Jaka Prima, menyampaikan bahwa pihaknya merasa sangat prihatin atas tindakan amoral yang dilakukan oleh pria berinisial KS (60 tahun), seorang guru ngaji asal Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Berdasarkan informasi yang dihimpun, KS diduga memperkosa seorang remaja berusia 18 tahun hingga korban hamil.
“Perbuatan ini sangat keji dan tidak bisa ditoleransi. Seorang guru ngaji seharusnya menjadi panutan, bukan justru menjadi pelaku yang mencabuli anak didiknya. Kami mengutuk keras tindakan pelaku dan meminta aparat hukum menjatuhkan hukuman maksimal,” tegas Jaka Prima, Rabu (8/10/2025).
Menurutnya, tindakan KS tidak hanya melukai korban, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan keagamaan yang selama ini menjadi benteng moral umat. Jombang dikenal sebagai kota santri, tempat lahirnya banyak tokoh agama besar, sehingga kasus ini menjadi preseden buruk bagi dunia pesantren dan pendidikan Islam di Jawa Timur.
Jaka mengungkapkan, Komnas PA Jatim juga meminta pihak kepolisian untuk menggali lebih dalam dugaan adanya korban lain yang mungkin masih takut untuk berbicara. “Kami berharap penyidik bisa menelusuri secara menyeluruh. Dalam kasus seperti ini, sering kali korban merasa tertekan atau malu untuk melapor,” ujarnya.
Lebih lanjut, Komnas PA Jatim mendesak aparat penegak hukum untuk menerapkan pasal berlapis, termasuk UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002. Menurut Jaka, jika terbukti korban masih di bawah 18 tahun saat kejadian pertama pada tahun 2024, maka pelaku layak dihukum lebih dari 15 tahun penjara atau bahkan dikenai hukuman kebiri kimia.
“Berdasarkan informasi yang kami peroleh, tindakan pelaku sudah dilakukan sejak 2024, ketika korban masih di bawah umur. Maka kami menuntut agar pelaku dijerat dengan hukuman berat sesuai undang-undang perlindungan anak dan diberikan hukuman tambahan berupa kebiri kimia sebagai efek jera,” tegasnya lagi.
Selain menuntut hukuman berat, Komnas PA Jatim juga meminta aparat penegak hukum untuk melakukan tes kejiwaan terhadap pelaku, guna mengetahui apakah ia memiliki kelainan seksual atau kecenderungan pedofilia. Pemeriksaan psikologis tersebut, menurut Jaka, penting untuk menentukan motif dan pola perilaku pelaku agar kasus serupa dapat dicegah di masa depan.
“Perlu ada pemeriksaan kejiwaan terhadap pelaku. Kami ingin tahu apakah ia memiliki gangguan mental atau merupakan pelaku predator anak yang sudah lama beroperasi. Ini penting agar penegak hukum bisa bertindak sesuai fakta psikologis,” tutur Jaka.
Kasus ini, kata dia, menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak di lingkungan pendidikan agama masih lemah. Banyak lembaga keagamaan di tingkat lokal belum memiliki mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah kekerasan seksual. Komnas PA Jatim pun mengimbau agar seluruh lembaga pendidikan, termasuk pesantren dan madrasah, memperketat seleksi tenaga pengajar serta memperkuat edukasi perlindungan anak.
“Guru agama seharusnya menjadi teladan akhlak. Ketika seorang tokoh masyarakat yang mengajarkan nilai-nilai Islam justru melakukan kejahatan seksual, maka dampaknya sangat besar. Tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi reputasi lembaga pendidikan agama itu sendiri,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Komnas PA Jatim juga menyatakan siap memberikan pendampingan hukum dan psikologis bagi korban dan keluarganya agar mereka mendapatkan keadilan serta pemulihan psikososial yang layak. Jaka menambahkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian daerah untuk memastikan proses hukum berjalan transparan dan tidak ada intervensi dari pihak mana pun.
“Korban dan keluarganya berhak mendapatkan pendampingan penuh. Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas. Tidak boleh ada kompromi terhadap kejahatan seksual terhadap anak,” tegasnya.
Kasus pencabulan oleh guru ngaji di Jombang ini kini menjadi perhatian luas masyarakat. Banyak pihak menilai, pengawasan terhadap guru atau tokoh agama di tingkat lokal harus diperketat, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan anak-anak. Pemerintah daerah dan lembaga keagamaan diminta untuk segera membentuk mekanisme perlindungan anak di setiap lingkungan pendidikan.
Dengan desakan kuat dari Komnas PA Jawa Timur, publik berharap aparat hukum bertindak tegas dan transparan agar kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak. Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu menjadi harapan bersama demi menjaga kehormatan pendidikan agama di Jombang dan di seluruh Indonesia.
“Perbuatan pelaku sangat memalukan dan merusak nama baik guru ngaji di mata masyarakat. Kami ingin memastikan pelaku mendapat hukuman setimpal, bukan hanya untuk membalas perbuatannya, tetapi juga untuk melindungi anak-anak lain agar tidak menjadi korban berikutnya,” pungkas Jaka Prima.