Berau– Sidang perdana gugatan yang diajukan oleh Kelompok Tani Usaha Bersama Maraang (UBM) terhadap PT Berau Coal, perusahaan tambang terbesar di Kabupaten Berau, tidak berjalan sesuai harapan. Pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Rabu (30/10/2024), PT Berau Coal tidak hadir, meskipun sudah menerima panggilan resmi dari pengadilan. Hal ini membuat kuasa hukum penggugat, Badrul Ain Sanusi Al-Afif, S.H., M.H., merasa kecewa.
Sidang perdana ini, dengan nomor registrasi 43/Pdt.Sus-LH/2024/PN Tnr, berlangsung pada pukul 12.40 WITA di ruang sidang Pengadilan Negeri Tanjung Redeb. Pihak penggugat hadir diwakili oleh kuasa hukum Badrul Ain Sanusi Al-Afif dan beberapa anggota masyarakat Tumbit Melayu yang turut mendukung tuntutan ini.
Menurut Badrul, ketidakhadiran PT Berau Coal merupakan bukti minimnya itikad baik dari pihak perusahaan untuk menghadapi proses hukum yang ada. “Sangat disayangkan bahwa perwakilan PT Berau Coal atau kuasa hukumnya tidak hadir. Padahal, kami sudah menyampaikan gugatan ini sejak 15 Oktober lalu. Kehadiran mereka adalah bentuk tanggung jawab terhadap hukum dan masyarakat,” ujar Badrul.
Gugatan dan Tuntutan Ganti Rugi Lahan
Gugatan yang diajukan oleh Kelompok Tani UBM mencakup tuntutan ganti rugi lahan yang diklaim sebagai wilayah pengelolaan kelompok tani tersebut. Berdasarkan Undang-Undang, kelompok tani berhak atas ganti rugi atas lahan yang dirusak atau diambil alih oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan besar. Gugatan ini juga menyebut adanya pelanggaran terhadap Pasal 134 Ayat 1 yang berkaitan dengan hak masyarakat atas lahan mereka.
“Kami meminta PT Berau Coal untuk bertanggung jawab atas penggunaan lahan yang diakui oleh Kelompok Tani UBM. Lahan tersebut bukan hanya sumber penghidupan masyarakat, tetapi juga bagian dari hak dasar yang dijamin undang-undang,” tegas Badrul.
Namun, ketidakhadiran PT Berau Coal dalam sidang kali ini semakin menambah keraguan masyarakat terhadap komitmen perusahaan tersebut untuk memenuhi hak-hak masyarakat lokal.
Keputusan Hakim: Sidang Ditunda Dua Pekan
Akibat ketidakhadiran pihak tergugat, majelis hakim akhirnya memutuskan untuk menunda sidang selama dua pekan hingga 13 November 2024. Hakim memberikan kesempatan kepada PT Berau Coal untuk hadir pada sidang mendatang. Majelis hakim menyatakan bahwa jika PT Berau Coal kembali mangkir, maka sidang akan berlanjut dengan putusan verstek, yang berarti hakim dapat memenangkan gugatan penggugat karena pihak tergugat tidak hadir dalam persidangan.
“Majelis hakim memberikan waktu hingga 13 November 2024. Jika PT Berau Coal tetap tidak hadir, maka kami akan mengajukan agar kasus ini diselesaikan secara verstek,” jelas Badrul. “Kami berharap pihak perusahaan serius dengan proses ini, mengingat dampak dari aktivitas mereka terhadap masyarakat Tumbit Melayu sangat besar,” tambahnya.
Menurutnya, keputusan untuk melanjutkan sidang dengan verstek adalah opsi terakhir yang bisa diambil jika pihak tergugat tetap tidak menghormati panggilan pengadilan. “Kami tidak menginginkan konflik, tapi kami juga harus memperjuangkan hak kami,” kata Badrul.
Rencana Aksi Kelompok Tani: Larangan Aktivitas Tambang
Sebagai langkah lanjutan, Kelompok Tani Usaha Bersama Maraang bersama masyarakat Tumbit Melayu berencana memasang spanduk larangan aktivitas pertambangan selama proses persidangan berlangsung. Langkah ini diambil untuk memberikan tekanan kepada PT Berau Coal agar mereka menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Rafik, salah satu perwakilan Kelompok Tani UBM, mengatakan bahwa spanduk larangan akan dipasang pada Kamis, 31 Oktober 2024, sebagai bentuk peringatan kepada perusahaan. “Kami akan memasang spanduk berisi larangan beraktivitas bagi PT Berau Coal selama persidangan belum selesai. Kami ingin perusahaan menghormati proses hukum dan hak masyarakat lokal,” ujarnya.
Selain itu, Rafik menambahkan bahwa spanduk yang akan dipasang memiliki nomor surat resmi, yaitu 001/K.A-PT BC/SPJJH/X2024, yang menegaskan hak kelompok tani untuk melarang aktivitas perusahaan tambang di lahan yang mereka klaim. “Kami ingin kejelasan dan keadilan. Jadi kami harap perusahaan merespons dengan baik,” tambahnya.
Rencananya, kelompok tani akan melakukan aksi lanjutan pada tanggal 3 November 2024, yang bertujuan untuk menghentikan aktivitas tambang selama proses hukum belum selesai. “Kami akan memastikan bahwa aktivitas tambang dihentikan selama sidang berlangsung. Ini adalah hak masyarakat yang harus dihormati oleh perusahaan,” kata Rafik.
Respon dari Warga dan Dukungan Terhadap Gugatan
Langkah yang diambil oleh Kelompok Tani UBM mendapat dukungan penuh dari masyarakat Tumbit Melayu, yang merasa bahwa aktivitas pertambangan PT Berau Coal telah berdampak langsung pada kehidupan mereka. Para warga yang sebagian besar bekerja sebagai petani merasa bahwa lahan yang diklaim oleh perusahaan telah mengganggu produktivitas pertanian dan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi di wilayah mereka.
“Lahan ini adalah sumber penghidupan kami. Kehadiran tambang membuat kami kesulitan untuk bercocok tanam, bahkan kadang kami harus kehilangan lahan yang sudah kami kelola bertahun-tahun,” ujar salah satu warga Tumbit Melayu yang turut hadir di pengadilan.
Masyarakat setempat berharap agar pengadilan dapat memberikan keputusan yang adil, mengingat konflik lahan dengan perusahaan besar bukanlah kasus baru di wilayah tersebut. Mereka juga berharap agar pemerintah daerah dan instansi terkait dapat memberikan dukungan terhadap hak-hak masyarakat lokal.
Kelanjutan Gugatan dan Harapan Warga
Sidang berikutnya pada 13 November akan menjadi penentu bagi nasib gugatan yang diajukan oleh Kelompok Tani UBM. Mereka berharap agar PT Berau Coal hadir dan memberikan klarifikasi yang jelas terkait klaim lahan dan tuntutan ganti rugi. Selain itu, warga berharap agar proses hukum ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan lain yang beroperasi di wilayah tersebut untuk lebih menghormati hak masyarakat lokal.
Badrul Ain Sanusi Al-Afif, S.H., M.H. menegaskan bahwa gugatan ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi masyarakat Tumbit Melayu. “Ini bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah di pengadilan. Ini adalah soal keberpihakan hukum kepada masyarakat kecil yang selama ini termarjinalkan,” jelasnya.
Ia berharap agar pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, turut memantau kasus ini untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan besar tidak semena-mena mengambil hak masyarakat. “Kami tidak anti-investasi, tapi perusahaan harus menghormati hak dan kesejahteraan warga lokal. Ini adalah hal mendasar yang harus dipenuhi,” tutup Badrul.