Berau – Pada Rabu, 30 Oktober 2024, sidang perdana gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh Kelompok Tani Usaha Bersama Maraang (UBM) terhadap PT Berau Coal digelar di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Gugatan dengan nomor perkara 43/Pdt.Sus-LH/2024/PN Tnr ini disambut oleh antusiasme kelompok tani yang memenuhi ruang sidang untuk menyaksikan proses hukum yang mereka harapkan akan mengembalikan hak atas lahan mereka. Namun, PT Berau Coal sebagai tergugat tak hadir, yang semakin menambah kekecewaan pihak penggugat yang telah berjuang mempertahankan lahan selama dua dekade terakhir.
Kasus sengketa lahan seluas 1.290 hektar di Desa Tumbit Melayu, Kecamatan Teluk Bayur, ini memicu konflik berkepanjangan sejak tahun 2000, saat lahan tersebut mulai dikuasai oleh Kelompok Tani UBM. Polemik semakin memanas ketika PT Berau Coal melakukan penggusuran pada tahun 2007, mengusir kelompok tani dari lahan yang telah mereka garap, dan kemudian memulai eksploitasi tambang batubara tanpa ganti rugi kepada warga. Berbagai langkah mediasi hingga pertemuan dengan DPRD Provinsi Kalimantan Timur telah dilakukan, tetapi menurut kelompok tani, PT Berau Coal tetap mengabaikan tuntutan dan instruksi untuk menyelesaikan konflik ini.
Perjuangan Panjang Mencari Keadilan
Konflik yang berlangsung selama lebih dari 20 tahun ini meninggalkan luka mendalam bagi kelompok tani. Upaya mediasi, pertemuan, dan persuasif telah diupayakan, namun tak ada hasil yang memuaskan. Bahkan, dalam proses perjuangan, salah satu anggota kelompok tani yang memperjuangkan lahan tersebut pernah dikriminalisasi dan dipenjara delapan bulan atas tuduhan melanggar Pasal 162 Undang-Undang Minerba terkait menghalangi kegiatan pertambangan. Pengalaman ini tak hanya meninggalkan trauma, tetapi juga menguatkan semangat kelompok tani untuk meneruskan upaya hukum melawan PT Berau Coal demi memperoleh kembali hak atas tanah mereka.
Kini, Poktan UBM menggandeng Tim Hukum BASA & Rekan, yang dipimpin oleh Badrul Ain Sanusi Al-Afif, S.H., M.H. Tim hukum ini dikenal atas keberhasilan memenangkan kasus kriminalisasi serupa yang dialami masyarakat Dayak di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pengalaman ini menjadi acuan bagi Poktan UBM dalam menghadapi gugatan melawan PT Berau Coal. Kepercayaan pada Tim Hukum BASA menguatkan harapan para petani bahwa kali ini mereka bisa memenangkan perjuangan panjang untuk mendapatkan kembali hak mereka.
Sidang Perdana: Ketidakhadiran Tergugat yang Dipertanyakan
Dalam sidang perdana ini, PT Berau Coal sebagai pihak tergugat tidak hadir tanpa memberikan alasan jelas. Badrul Ain Sanusi Al-Afif selaku pimpinan tim hukum BASA & Rekan menyatakan kekecewaannya terhadap ketidakhadiran tersebut, namun tetap optimis dalam menghadapi proses hukum ini. “Kami selaku kuasa hukum tidak tahu apa alasan tergugat tidak menghadiri sidang perdana hari ini. Namun, kami tetap optimis dan taat hukum. Jika pada sidang kedua yang diagendakan tanggal 13 November 2024, pihak tergugat kembali tidak hadir, maka kami berharap majelis hakim dapat memutuskan verstek, yaitu kemenangan untuk para petani,” ujar Badrul.
M. Hafidz Halim, S.H., calon advokat yang tergabung dalam Tim Hukum BASA, menambahkan bahwa proses hukum tidak hanya akan ditempuh di persidangan, tetapi juga diperkuat dengan aduan kepada Komisi Hukum DPR-RI untuk memastikan keadilan bagi Kelompok Tani UBM. “Kami berkomitmen agar keadilan benar-benar ditegakkan dan hak-hak Poktan dapat terbayarkan. Mereka sudah cukup menderita selama puluhan tahun, diusir dari lahan yang tidak pernah diganti hingga terjadinya pertambangan,” ujar Hafidz.
Dalam pandangan tim hukum, tindakan PT Berau Coal telah melanggar Pasal 134 ayat (1), Pasal 135, dan Pasal 138 UU Minerba nomor 3 tahun 2020 yang mengubah UU Minerba nomor 4 tahun 2009. Selain itu, tindakan tersebut juga melanggar Pasal 385 jo 406 KUHP tentang penyerobotan lahan, yang menjadi dasar gugatan kelompok tani terhadap PT Berau Coal.
Rencana Aksi Penutupan Area Tambang oleh Kelompok Tani
Tak hanya berjuang di meja hijau, Kelompok Tani UBM juga merencanakan aksi di lapangan. Mereka mengumumkan akan menutup akses menuju lahan mereka yang kini berada dalam wilayah konsesi PT Berau Coal. M. Rafik, koordinator aksi, menyatakan bahwa penutupan area tambang akan dilakukan pada 3 November 2024. “Saya sudah menyerahkan Surat Pemberitahuan Penutupan Area kepada Polres Berau. Kami akan tutup lahan ini, tidak peduli apakah tergugat hadir atau tidak,” ujar Rafik tegas.
Langkah ini diambil oleh kelompok tani sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Mereka berharap bahwa dengan aksi penutupan ini, PT Berau Coal akan mempertimbangkan kembali posisinya dan menghentikan aktivitas tambang di lahan yang masih menjadi sengketa hukum. Menurut Rafik, kelompok tani berhak mempertahankan tanah mereka dan menuntut perusahaan untuk segera menghentikan operasi hingga ada kepastian hukum yang jelas.
Seruan kepada Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk Turut Campur
Di halaman Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, puluhan anggota Poktan UBM menggelar aksi damai dengan membawa spanduk yang berisi tuntutan dan harapan mereka. Salah satu spanduk mereka bertuliskan, “Tolong Kami Bapak Presiden Prabowo Subianto, Kami Telah Dizalimi oleh PT Berau Coal atas Lahan Kami Seluas 1.290 Hektar yang Dieksploitasi.” Selain itu, mereka juga mengarahkan tuntutan kepada Ketua Komisi Hukum DPR-RI, Dr. Habiburokhman, S.H., M.H., dan Anggota Komisi Hukum DPR-RI, Dr. Bob Hasan, S.H., M.H., agar segera menindak tegas PT Berau Coal yang diduga merampas hak mereka.
Dengan seruan ini, kelompok tani berharap agar kasus ini mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan DPR-RI. Mereka percaya bahwa intervensi dari tokoh-tokoh nasional akan memberikan tekanan lebih besar pada PT Berau Coal untuk menyelesaikan konflik ini dengan adil.
Harapan Terakhir untuk Mendapatkan Keadilan
Perjuangan Kelompok Tani UBM bukanlah sekadar soal lahan, tetapi juga menyangkut hak hidup mereka sebagai petani yang telah menggantungkan hidup pada tanah tersebut. Bagi mereka, tanah seluas 1.290 hektar di Desa Tumbit Melayu bukan hanya sumber pendapatan, tetapi juga warisan nenek moyang yang harus dijaga. “Kami akan terus berjuang hingga titik darah penghabisan. Ini bukan hanya soal uang atau lahan, ini soal hak kami yang telah direbut secara sepihak. Kami berharap majelis hakim mendengar suara kami dan memberikan putusan yang adil,” ujar seorang anggota kelompok tani.
Di lain pihak, Badrul Ain Sanusi Al-Afif menegaskan bahwa negara harus hadir melindungi hak-hak masyarakat lokal dalam menghadapi perusahaan besar yang memiliki kekuatan finansial dan hukum yang lebih kuat. Menurut Badrul, kasus ini adalah bukti betapa pentingnya perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan kelompok tani dalam menghadapi konflik dengan korporasi. “Negara harus berada di pihak yang lemah, bukan malah membiarkan mereka menjadi korban dari sistem yang tidak adil,” tutup Badrul.
Penegasan Hak Masyarakat Lokal dalam Konflik Lahan
Kasus yang dihadapi Kelompok Tani UBM ini mencerminkan masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal dalam mempertahankan hak atas tanah mereka dari perusahaan besar yang berkepentingan pada sumber daya alam. Dalam konteks ini, dukungan pemerintah dan wakil rakyat sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa keadilan dan kepastian hukum berpihak kepada masyarakat yang sering kali tidak memiliki akses kuat terhadap hukum.