Kediri – Dinamika politik di Kota Kediri semakin memanas menjelang Pilkada 2024. Sorotan kali ini datang dari pernyataan mantan Walikota Kediri, Abdullah Abu Bakar, terkait bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 46 miliar yang diberikan kepada organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) selama masa jabatannya pada periode 2019-2024. Pernyataan ini memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat, terutama setelah disampaikan dalam kampanye pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Ferry Silviana Feronica dan Regina Nadya Suwono (Fey-Regina).
Katino, Wakil Ketua Ranting Tanfidziah NU Kelurahan Banjaran, Kota Kediri, turut angkat bicara mengenai pernyataan tersebut. Menurutnya, bantuan sebesar itu berasal dari APBD, yang merupakan dana publik, bukan dana pribadi. Oleh karena itu, tidak pantas jika bantuan ini disampaikan dalam konteks politik Pilkada. “Ini harus diluruskan agar warga NU tidak bingung. Hibah sebesar itu untuk NU, tetapi banyak elemen yang harus diperhatikan. Tidak hanya untuk NU, tetapi juga elemen-elemen lain,” ujar Katino pada Sabtu (5/10/2024).
Ia juga menegaskan bahwa memberikan hibah atau pembinaan anggaran adalah kewajiban setiap kepala daerah. Mengungkit kembali bantuan dari APBD dan mengklaimnya sebagai capaian pribadi, menurutnya, tidak etis. “Bantuan kepada ormas tidak hanya untuk NU, tetapi juga untuk Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Namun, pernyataan terkait hibah Rp 46 miliar untuk NU dari APBD bisa menjadi polemik di tahun politik ini,” kata Katino, yang juga menjabat sebagai Anggota DPRD Kota Kediri dari Partai Gerindra.
Pernyataan Abu Bakar yang mengungkit bantuan ini muncul dalam acara silaturahmi paslon Fey-Regina ke Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Kediri pada Jumat (27/9/2024). Dalam acara tersebut, Abu Bakar, yang merupakan suami dari calon walikota Fey, menyinggung kembali bantuan hibah dari APBD kepada NU saat dirinya menjabat sebagai walikota. “Pada tahun 2018-2024, kami telah mengucurkan dana sebesar Rp 46 miliar untuk musala, masjid, TPA, TPQ, dan PCNU. Itu adalah jumlah yang kami berikan saat itu, dan harapannya ke depan, ini harus dirangkai lagi agar kita bisa saling mengisi kekosongan di Kota Kediri,” ujar Abu.
Meski Abu Bakar bermaksud menekankan kontribusi pemerintahannya terhadap pembangunan keagamaan di Kota Kediri, pernyataannya justru menimbulkan reaksi beragam. Beberapa pihak menganggap bahwa menyebutkan angka besar tersebut dalam konteks kampanye dapat menciptakan kesan bahwa bantuan APBD adalah bentuk dukungan politik, bukan kebijakan publik yang seharusnya netral.
Dengan Pilkada 2024 semakin dekat, perdebatan mengenai bantuan APBD ini menunjukkan bahwa isu keagamaan dan anggaran publik masih menjadi topik sensitif dalam politik lokal. Di sisi lain, hal ini juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan etika dalam penggunaan dana publik, terutama di tahun-tahun politik.