Sidoarjo – Sebanyak 50 jenazah korban ambruknya bangunan Pesantren Al Khoziny di Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah teridentifikasi per Jumat (10/10). Proses identifikasi berlangsung bertahap sejak evakuasi korban dimulai awal pekan lalu.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyatakan bahwa tim DVI masih menyelesaikan identifikasi terhadap 11 jenazah yang belum teridentifikasi—termasuk lima potongan tubuh yang ditemukan secara bertahap oleh tim SAR gabungan di lokasi kejadian.
“Data hasil identifikasi sampai hari Jumat 10 Oktober, sebanyak 50 jenazah telah berhasil dikenali,” ujarnya.
Semua jenazah yang telah dikenali telah diserahkan kepada keluarga masing‑masing untuk dimakamkan.
Sementara itu, sejumlah keluarga korban masih menunggu hasil identifikasi lanjutan di Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya, tempat tim DVI bekerja.
Dalam rapat tingkat menteri yang dipimpin Menko PMK Pratikno, kementerian dan lembaga terkait sepakat mendampingi pemulihan lokasi pondok. Agenda yang dibahas termasuk audit terhadap bahan dan desain konstruksi bangunan serta rekomendasi teknis agar kejadian serupa tak terulang.
Perwakilan alumni Ponpes Al Khoziny, KH Zaenal Arifin, menyampaikan bahwa dalam dua hingga tiga minggu ke depan sebagian besar santri bisa kembali beraktivitas. Namun, mereka tidak akan menempati bangunan utama sementara waktu karena area itu telah dipasangi garis polisi (police line).
“Rencananya dua sampai tiga minggu ke depan sudah diperbolehkan kembali. Tapi tidak di lokasi utama karena sudah dipasangi police line. Kami arahkan ke Kampus 2 dan juga ke Pondok Pesantren Al Falah Siwalan Panji …” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun persiapan telah dilakukan untuk kelancaran kegiatan belajar, masih ada yang harus diperhatikan terkait kondisi psikologis santri: “Kita belum tahu secara total ya, mungkin ada di antara mereka yang masih trauma. Jadi kita sesuaikan dengan kondisi santri…”
Tragisnya kejadian robohnya pondok ini menjadi sorotan publik dan memicu pertanyaan menyeluruh tentang standar konstruksi pondok pesantren. Di satu sisi, proses identifikasi jenazah menghadapi tantangan teknis seperti kondisi jenazah, fragmentasi bagian tubuh, dan volume korban yang besar. Di sisi lain, momentum rehabilitasi menjadi kesempatan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mengevaluasi regulasi bangunan keagamaan agar lebih aman dan transparan.
Dengan teridentifikasinya 50 jenazah hingga Jumat, harapan besar kini terfokus pada proses identifikasi sisanya serta pemulihan keseluruhan lingkungan ponpes. Semangat untuk memulai kembali aktivitas pesantren tetap dijaga, meski dengan langkah hati-hati demi keamanan dan rasa keadilan bagi korban dan keluarga.
