Sidoarjo — Banjir yang merendam rumah warga dan jalan akibat proyek ketinggian lahan memicu protes dari puluhan warga Desa Sepande, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Mereka mendatangi lokasi untuk menghentikan proyek pembangunan perumahan Grand Amarta yang dikerjakan PT Kali Dana Inti Permata, Selasa (7/1/2025).
Banjir yang sering terjadi saat hujan menyebabkan air mengalir langsung ke jalan dan rumah warga, khususnya di wilayah RT 6 dan RT 7 RW 2. Proyek perumahan tersebut dinilai menjadi penyebab utama banjir karena pengelolaan tata air yang tidak optimal.
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Kepala Desa Sepande, Hadi Santoso, mengajak puluhan perwakilan warga ke kantor desa guna mencari solusi bersama. Dalam keterangannya kepada Kilasjatim.com, Hadi menjelaskan bahwa proyek tersebut sebenarnya sudah melalui rapat dengan beberapa elemen masyarakat dan dinas terkait.
“Memang semuanya itu pekerjaan berdasarkan set plan. Sejak awal saya rapat dengan beberapa elemen masyarakat dan kedinasan. Sudah saya tekankan kepada PT tersebut, jangan sampai proyek ini merugikan warga. Terutama dalam hal banjir dan sebagainya. Tolong secepatnya direalisasikan solusi seperti saluran, pelebaran jalan, dan bozem. Sudah saya sampaikan ini sejak satu tahun lalu,” terang Hadi Santoso.
Namun, Hadi mengungkapkan bahwa pihak PT terkesan kurang tanggap terhadap penanganan masalah yang ada. “Sebenarnya, setiap ada permasalahan, kita selalu undang PT. Mereka datang, tetapi tindak lanjutnya lambat. Intinya, harapan saya karena ini sifatnya urgent, tolong segera direalisasikan,” tambahnya.
Hadi juga mengonfirmasi bahwa pengerjaan proyek dihentikan sementara akibat adanya miskomunikasi antara PT dan warga. “Masyarakat merasa dibohongi karena tidak ada kejelasan. Saya tekankan bahwa proyek ini harus mengikuti bestek yang ada,” tegasnya.
Ketua RT 6 RW 2, Faris, juga mengutarakan keluhan warga terhadap dampak proyek tersebut. Menurutnya, pembangunan perumahan Amarta telah menyebabkan banjir di rumah warga dan jalan sekitar. Faris menyampaikan tuntutan warga yang mencakup pembangunan bozem, saluran gorong-gorong (drainase), dam buka-tutup, dan pengurai air di RT 7. Selain itu, warga meminta peninggian plengsengan di kawasan RT 6 dan RT 7 agar setara dengan wilayah sebelah selatan, perbaikan gorong-gorong yang amblas, serta dana partisipasi atau kompensasi dari pengembang.
“Selama ini saluran air pembuangan ada di mana? Apakah di utara bozem atau di tempat lain? Seharusnya warga mengetahui terlebih dahulu. Karena ketidaktahuan ini, akhirnya terjadi banjir,” ungkap Faris.
Sementara itu, perwakilan PT Kali Dana Inti Permata, Setyo Budi, yang menjabat sebagai legal, memberikan klarifikasi terkait protes warga. Menurutnya, masalah banjir ini perlu diantisipasi bersama antara pihak desa dan warga.
“Kalau dampak dari perumahan, saya rasa tidak ada. Sejak awal, saluran-saluran itu memang perlu dinormalisasi. Selama ini, saluran di luar area PT tidak pernah dinormalisasi. Kami siap membantu, tetapi kalau dibilang gara-gara PT, saya rasa tidak ya, karena bangunan di area perumahan juga belum selesai,” ujar Setyo Budi.
Setyo menambahkan bahwa pembangunan bozem sempat tertunda karena menunggu perizinan. “Kami belum membangun bozem karena izin untuk drainase dan titik perizinannya masih diproses. Harapan kami, izin tersebut segera turun karena lokasinya sudah ditentukan,” jelasnya.
Hadi Santoso menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal tuntutan warga hingga terealisasi. Ia juga meminta PT Kali Dana Inti Permata untuk segera memberikan solusi konkret agar banjir tidak lagi menjadi masalah yang berulang.
Bozem, yang merupakan kolam buatan untuk menampung air hujan, diharapkan menjadi solusi utama dalam mengatasi banjir. Kolam ini tidak hanya berguna saat musim hujan, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk irigasi di musim kemarau. Namun, warga berharap agar pembangunan bozem ini tidak hanya menjadi janji tanpa realisasi.
“Kita butuh tindakan nyata, bukan sekadar rencana. Jika dibiarkan berlarut-larut, dampaknya akan semakin parah,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Proyek perumahan Grand Amarta memang telah menuai kontroversi sejak awal pembangunannya. Selain masalah banjir, warga juga mengeluhkan kurangnya transparansi dari pihak pengembang. Menurut warga, mereka tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas terkait rencana pembangunan dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
“Warga hanya tahu ada proyek perumahan. Tapi, apa yang akan dibangun, bagaimana dampaknya, kami tidak pernah diberi tahu. Akhirnya, kami yang harus menanggung dampaknya,” tambah warga lainnya.
Situasi ini mencerminkan pentingnya komunikasi yang baik antara pengembang, pemerintah desa, dan masyarakat. Tanpa komunikasi yang transparan, proyek pembangunan apa pun berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakpuasan di tengah masyarakat.
Dengan adanya protes ini, diharapkan pihak pengembang dapat segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan permasalahan banjir yang merugikan warga. Selain itu, pemerintah desa juga diharapkan lebih proaktif dalam mengawasi proyek-proyek yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
“Kami hanya ingin hidup tenang tanpa banjir. Kalau pihak pengembang mau mendengarkan aspirasi kami, saya yakin masalah ini bisa selesai,” ujar seorang warga penuh harap.
Protes ini menjadi pengingat bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dan kebutuhan masyarakat dapat menimbulkan dampak negatif yang besar. Oleh karena itu, semua pihak terkait harus bekerja sama untuk memastikan pembangunan perumahan berjalan tanpa merugikan masyarakat sekitar.