Mojokerto – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Mojokerto resmi menahan lima tersangka dalam kasus korupsi proyek pembangunan pujasera Kapal Majapahit, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional Taman Bahari Majapahit (TBM). Skandal ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,9 miliar dan menimbulkan sorotan tajam terhadap pengelolaan proyek-proyek publik di Kota Mojokerto.
Kepala Kejari Kota Mojokerto, Bobby Ruswin, menjelaskan bahwa pihaknya memanggil tujuh orang untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Namun, hanya lima yang hadir dan langsung Kejari tetapkan sebagai tersangka serta ditahan oleh penyidik.
Kelima tersangka tersebut yaitu Zantos Sebaya, Kepala Bidang Penataan Ruang Bangunan dan Bina Konstruksi Dinas PUPR Perkim Kota Mojokerto yang juga bertindak sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek pujasera Kapal Majapahit. Selain itu, penyidik juga menahan MK, Direktur CV Sentosa Berkah Abadi, yang berperan sebagai pelaksana pembangunan cover Kapal Majapahit. Tiga pelaksana lainnya yakni CI, N, dan HAS juga ditahan karena terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek bermasalah ini.
Sementara itu, dua tersangka lain mangkir dari panggilan penyidik dan hingga kini masih dalam pengejaran Kejari Kota Mojokerto. Penyidik memastikan akan mengambil langkah tegas terhadap kedua buronan tersebut.
TBM : Destinasi Wisata atau Destinasi Bencana?

Ironisnya, lokasi proyek wisata yang Pemkot Mojokerto kembangka ini ternyata berada di kawasan rawan bencana. Berdasarkan hasil kajian geospasial dan mitigasi bencana, area Taman Bahari Majapahit tergolong zona rentan banjir dan longsor saat musim penghujan. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar terkait pertimbangan perencanaan proyek yang justru membahayakan keselamatan pengunjung.
TBM awalnya sebagai ide destinasi wisata unggulan yang mengangkat kejayaan maritim era Majapahit. Pemerintah kota berharap kehadiran taman tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui sektor pariwisata. Namun, proyek ini justru terjerat skandal korupsi, sehingga menodai citra pembangunan daerah.
Sorotan publik makin tajam ketika DPRD Kota Mojokerto melakukan evaluasi terhadap alokasi anggaran TBM. Tahun ini, dewan memangkas sejumlah pos anggaran karena menilai proyek belum menunjukkan hasil signifikan. Selain itu, DPRD juga mengevaluasi kebijakan tarif retribusi wisata TBM yang terasa begitu murah.
“Dengan tarif hanya Rp 2.500 per kunjungan, sulit untuk menutup biaya operasional, apalagi memberikan kontribusi nyata bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah),” ungkap salah satu anggota DPRD Kota Mojokerto dalam rapat pembahasan anggaran.
Kritik dari legislatif ini menambah daftar panjang persoalan di balik proyek TBM. Selain ketidaktransparanan anggaran, kualitas pembangunan juga jadi tanda tanya. Dugaan bahwa pembangunan terlaksana tanpa studi kelayakan menyeluruh memperkuat kesan bahwa proyek TBM lebih sarat kepentingan politis ketimbang orientasi manfaat publik.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah agar lebih transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dalam merancang serta melaksanakan proyek strategis. Penegakan hukum yang Kejari Mojokerto laksanakan menjadi langkah awal, namun pemulihan kepercayaan publik masih membutuhkan tindakan nyata dari berbagai pihak.