Washington DC – Ketegangan global kembali memanas setelah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberikan isyarat keras soal kebijakan tarif yang akan segera diberlakukan terhadap lebih dari 100 negara mitra dagang. Dalam pernyataan kepada wartawan baru-baru ini, Trump membocorkan rencana serangan dagang baru, menyebut tarif atas bisa mencapai 70 persen, jauh lebih tinggi dari tarif 50 persen yang ia terapkan pada April 2025 lalu.
Pernyataan tersebut muncul menjelang batas akhir 9 Juli 2025, tenggat waktu tiga bulan yang sebelumnya diberikan oleh Trump kepada negara-negara mitra dagang untuk bernegosiasi dengan pemerintah Amerika guna menghindari pemberlakuan tarif tinggi. Ia menegaskan bahwa jika perundingan gagal atau tidak menghasilkan konsesi signifikan bagi AS, maka tarif tinggi akan diterapkan tanpa kompromi.
“Kami hanya menuntut keadilan. Amerika telah terlalu lama dimanfaatkan,”
ujar Trump dalam wawancara singkat dengan media di Washington.
Rencana tarif baru ini disebut akan mencakup produk-produk utama dari negara-negara seperti Tiongkok, Jerman, Kanada, dan Meksiko, yang selama ini menikmati surplus perdagangan dengan Amerika Serikat. Kebijakan tersebut dipandang sebagai kelanjutan dari strategi dagang agresif yang kembali diusung Trump dalam kampanye dan kebijakan ekonominya pasca pemilu paruh waktu lalu.
Langkah ini menuai beragam reaksi di dunia internasional. Banyak negara menyatakan kekhawatiran terhadap potensi perang dagang global baru yang bisa menekan pertumbuhan ekonomi dan memicu inflasi. Uni Eropa dan Tiongkok dikabarkan tengah menyusun langkah balasan jika tarif tinggi benar-benar diterapkan oleh AS.
“Jika tarif sepihak kembali diberlakukan, kami tidak akan tinggal diam. Dunia membutuhkan stabilitas, bukan ketegangan dagang baru,”
kata seorang pejabat tinggi Uni Eropa yang enggan disebutkan namanya.
Kebijakan dagang Trump dikenal sangat proteksionis, dengan fokus pada penyeimbangan neraca perdagangan AS dan upaya menghidupkan kembali industri dalam negeri. Namun, banyak ekonom memperingatkan bahwa kebijakan semacam ini justru dapat menimbulkan kerugian jangka panjang bagi konsumen dan pelaku usaha di AS, serta memperburuk hubungan diplomatik global.
Masa menjelang 9 Juli menjadi titik krusial. Jika perundingan tidak membuahkan hasil, maka dunia bisa menyaksikan gelombang baru perang dagang yang tidak hanya melibatkan tarif, tetapi juga pembatasan teknologi dan investasi lintas negara.