Mojokerto – Kasus bunuh diri yang terus terjadi di Kabupaten Mojokerto, mulai dari 16 kasus pada 2017–2019, lonjakan saat pandemi, hingga insiden terbaru di Jembatan Rolak Songo (02/07/2025) menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar masalah individu. Fenomena ini menjadi sinyal darurat sosial yang menuntut pendekatan terbuka, dukungan emosional, dan kolaborasi lintas disiplin.
Dalam ranah sosial, banyak korban sebenarnya telah memberikan sinyal tekanan batin, namun lingkungan sekitar sering kali gagal membaca atau merespons. Tekanan ekonomi, masalah hubungan, dan gangguan kesehatan mental menjadi beban berat yang tak jarang dihadapi dalam kesunyian. Rasa malu, takut dianggap lemah, dan minimnya empati membuat banyak individu memilih diam, bahkan menarik diri dari interaksi sosial. Padahal, keluarga dan masyarakat memiliki peran penting untuk menciptakan ruang aman dan ramah untuk berbagi cerita serta mengurai beban.
Media sosial juga turut memengaruhi kondisi psikologis. Alih-alih menjadi sarana penyembuhan, platform digital justru kerap menciptakan tekanan baru melalui konten pencitraan dan standar hidup yang tidak realistis. Karena itu, setiap individu perlu membekali diri dengan literasi digital dan kemampuan menyaring informasi sesuai kapasitas mental dan konteks hidup mereka. Filterisasi konten menjadi langkah sederhana tapi krusial untuk menjaga kesehatan jiwa.

Refleksi Dari Perspektif Hukum dan Spiritualitas Agama
Dari sisi hukum, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menilai bahwa kasus-kasus bunuh diri berkaitan erat dengan akses terhadap keadilan sosial dan perlindungan psikologis. Pemerintah perlu menyediakan layanan konsultasi hukum dan psikologis secara gratis, terutama bagi masyarakat yang rentan secara ekonomi. LBH dapat mengambil peran strategis sebagai penghubung antara warga dengan bantuan hukum, layanan konseling, dan jaminan sosial yang mampu meringankan tekanan hidup masyarakat.
Dalam perspektif keagamaan, khususnya menurut pandangan Muhammadiyah, bunuh diri merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran tauhid dan prinsip kesucian hidup. Hidup adalah amanah dari Allah, dan setiap ujian merupakan takdir yang harus manusia hadapi dengan sabar, doa, dan ikhtiar.
Namun demikian, Muhammadiyah juga menekankan pentingnya pendekatan empatik. Dakwah yang menyejukkan, pengajian yang mengangkat isu kesehatan mental, dan pendampingan spiritual menjadi upaya konkret yang Muhammadiyah jalankan. Bahkan, layanan psikososial berbasis masjid dan komunitas telah mulai berkembang sebagai solusi nyata dalam merespons masalah kejiwaan di tengah masyarakat.
Bunuh diri bukan sekadar tragedi personal, melainkan refleksi dari struktur sosial yang rapuh, komunikasi keluarga yang tersendat, literasi mental yang rendah, dan minimnya pendampingan spiritual. Kita membutuhkan sinergi yang kuat dari seluruh elemen untuk membangun sistem sosial yang lebih terbuka, peduli, dan suportif.
Setiap nyawa yang berhasil terselamatkan bukan hanya kemenangan satu pihak, tetapi keberhasilan kolektif dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh: Mukhammad Zulvani, S.M.
Sekretaris LBH AP Muhammadiyah Kabupaten Mojokerto