Sangatta – Dalam keseharian masyarakat Kutai Timur, permainan atau olahraga tradisional memainkan peranan penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Dari anak-anak hingga orang dewasa, banyak yang masih meminati berbagai jenis permainan tradisional yang sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lampau. Salah satu permainan tradisional yang tetap diminati oleh berbagai kalangan usia adalah begasing, sebuah permainan adu ketangkasan memutar gasing yang masih mengasyikkan hingga kini.
Begasing bukan hanya sekadar permainan untuk mengisi waktu senggang, melainkan juga bagian dari tradisi yang sarat dengan filosofi dan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan demokrasi. Walaupun di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, permainan ini masih memiliki tempat di hati masyarakat Kutai. Sebagai permainan yang dimainkan menggunakan gasing dan tali penarik, begasing dapat dimainkan di berbagai usia dan tidak mengenal batas generasi.
Gasing: Alat Permainan yang Sederhana, namun Penuh Makna
Permainan begasing membutuhkan alat berupa gasing dan tali penarik. Gasing itu sendiri terbuat dari sebongkah kayu berbentuk lonjong dengan diameter sekitar 10-15 cm dan tinggi sekitar 15-20 cm. Salah satu ujung gasing dibuat lancip dan licin, sementara pada ujungnya dipasang bahan logam sebagai poros putaran, biasanya menggunakan paku. Kayu benggaris dan ulin adalah jenis kayu yang sering digunakan untuk membuat gasing ini.
Tali penarik yang digunakan memiliki diameter sekitar 0,5 cm dengan panjang 1-1,5 meter. Tali ini dililitkan ke gasing, dan ujung tali diikatkan pada jari pemain. Gasing kemudian dilemparkan ke bawah, dan putaran gasing tersebut terjadi karena tali yang melilitnya. Satu putaran gasing dapat berlangsung sekitar 2 hingga 5 menit, tergantung pada keahlian pemain dan kualitas gasing yang digunakan.
Area permainan begasing terdiri dari dua lingkaran dengan ukuran berbeda, yaitu lingkaran dalam berdiameter 1 meter dan lingkaran luar berdiameter 5 meter. Setiap lingkaran memiliki nilai yang berbeda, dan pemain berusaha agar gasingnya tetap berada di dalam area permainan tersebut. Dalam pertandingan begasing, permainan biasanya dilakukan secara berpasangan atau satu lawan satu. Pemain berusaha untuk membuat gasing mereka berputar selama mungkin dan tidak keluar dari lingkaran. Pada beberapa babak, pemain juga akan berusaha menjatuhkan gasing lawan agar menang. Gasing yang terlempar keluar atau berhenti lebih dulu akan kalah. Poin diberikan kepada pemain yang berhasil membuat gasing lawan keluar atau yang gasingnya mampu berputar lebih lama.
Komunitas Gasing Sangatta (KGS): Melestarikan Tradisi
Ikhwansyah, Ketua Komunitas Gasing Sangatta (KGS), merupakan salah satu tokoh yang berperan besar dalam melestarikan permainan begasing ini di Kutai. Komunitas Gasing Sangatta dibentuk pada tahun 2017, berawal dari sekumpulan perorangan yang berkumpul untuk bermain gasing di suatu tempat. Saat ini, KGS memiliki markas di Jalan Mawar, Sangatta Utara, dan rutin berkumpul serta berlatih di Kantor Kecamatan Sangatta Utara. KGS telah berhasil meraih prestasi membanggakan, termasuk kemenangan pada ajang Porpov (Pekan Olahraga Provinsi) di Samarinda pada 5-6 Oktober 2024, dengan menyabet dua medali emas dan satu perunggu.
Ikhwansyah menjelaskan bahwa saat ini KGS memiliki 15 anggota yang aktif dalam berlatih dan mempopulerkan permainan begasing. KGS juga memperkenalkan berbagai kelas dalam permainan begasing, antara lain: gasing jantung, gasing turai, gasing adu pukul (berajaan), dan gasing pukul poinan. Ia berharap, dengan adanya komunitas ini, lebih banyak orang yang tertarik untuk memainkan gasing, khususnya generasi muda.
“Gasing adalah bagian dari warisan budaya kita. Selain sekadar permainan, ada filosofi di balik setiap putaran gasing yang mengajarkan kita banyak hal, seperti toleransi, persatuan, dan kerjasama,” kata Ikhwansyah dengan penuh semangat.
Enam Jenis Gasing Khas Kutai
Di Kutai, gasing memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekadar permainan. Ada enam jenis gasing khas Kutai yang diyakini memiliki filosofi tersendiri. Keunikan gasing-gasing ini membedakan gasing Kutai dengan gasing dari daerah lain di Indonesia. Enam jenis gasing tersebut antara lain:
Gasing Pelele: Gasing ini menyerupai buah kayu pelele. Buah ini dulu sering hanyut di sungai, dan anak-anak di pedalaman Kutai biasa memainkannya di bantaran sungai. Ini adalah generasi pertama gasing Kutai yang kemudian berkembang menjadi gasing dari kayu.
Gasing Prangat: Gasing ini berbentuk ceper dan digunakan dalam lomba untuk melihat siapa yang bisa membuat gasingnya berputar lebih lama. Dalam bahasa Kutai, permainan ini disebut Beturai.
Gasing Bengor: Gasing ini digunakan dalam adu kekuatan antara dua pemain. Gasing ini mengeluarkan suara mendungung saat dimainkan, dan filosofi di balik permainan ini berkaitan dengan musim tanam, di mana masyarakat Kutai percaya bahwa permainan ini bisa membawa keberuntungan dalam hasil pertanian.
Gasing Tungkul (Jantung Pisang): Gasing jenis ini lebih erat kaitannya dengan alam, khususnya tumbuhan jantung pisang. Gasing ini biasanya dimainkan setelah masa panen sebagai bentuk syukuran.
Gasing Buong: Gasing ini berbentuk guci atau gentong dan biasanya dimainkan dalam acara-acara tertentu, termasuk di kalangan kerajaan setelah masa panen.
Gasing Pendada: Gasing ini memiliki kepala dua, yang hanya ada di Kutai. Menurut Ikhwansyah, gasing ini memiliki nilai sejarah yang tinggi dan dulu sering dimainkan dalam kerajaan.
Filosofi di Balik Putaran Gasing
Menurut Ikhwansyah, gasing memiliki filosofi yang sangat mendalam. Salah satunya adalah egalitarianisme, yang mengajarkan bahwa setiap pemain memiliki hak yang setara untuk mencapai kedudukan tertinggi dalam permainan, seperti menjadi raja atau menteri. Filosofi ini mengandung makna bahwa setiap individu, terlepas dari status sosialnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi terhormat.
Selain itu, ada pula filosofi demokratis yang mengajarkan bahwa posisi penting dalam permainan diraih secara demokratis, berdasarkan keterampilan dan ketangkasan pemain. Semua orang berhak untuk menjadi pemenang jika mereka mampu menunjukkan kemampuan terbaiknya. Tidak ada tempat untuk nepotisme atau politik uang dalam permainan gasing. Hal ini menjadikan gasing sebagai alat untuk mengajarkan nilai kejujuran dan transparansi dalam suatu kompetisi.
“Gasing mengajarkan kita tentang kesetaraan, transparansi, dan sportifitas. Itulah sebabnya saya sangat mencintai permainan ini,” ujar Ikhwansyah.
Gasing Kutai: Melestarikan Warisan Budaya
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, permainan tradisional seperti gasing mulai ditinggalkan oleh generasi muda, terutama di kota-kota besar. Namun, Ikhwansyah dan komunitas gasing Sangatta berkomitmen untuk menjaga agar tradisi ini tetap hidup. Ia percaya bahwa meskipun dunia telah beralih ke era digital, nilai-nilai yang terkandung dalam permainan gasing masih sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan keunikan bahan pembuatan gasing yang terbuat dari kayu ulin dan banggeris khas Kalimantan Timur, gasing Kutai memiliki ciri khas yang membedakannya dari gasing yang ada di daerah lain, seperti Kalimantan Selatan yang menggunakan kayu kemuning atau daerah lain yang menggunakan kayu manggis. Keunikan ini menjadi salah satu daya tarik yang membuat gasing Kutai semakin menarik untuk dilestarikan.
Menjaga Eksistensi Gasing
Gasing, seperti banyak permainan tradisional lainnya, membutuhkan perhatian dan dukungan dari pemerintah agar tetap eksis. Ikhwansyah berharap ada perhatian lebih dari pemerintah untuk mendukung pelestarian permainan tradisional ini. Ia juga berharap agar lebih banyak generasi muda yang tertarik untuk memainkan gasing dan menjaga tradisi ini tetap hidup, meskipun di tengah derasnya arus modernisasi.
“Perhatian dari pemerintah sangat penting agar permainan ini tetap berkembang, dan kita bisa memperkenalkan budaya Kutai kepada dunia,” kata Ikhwansyah penuh harap.
Dalam era serba digital ini, menjaga warisan budaya seperti gasing merupakan tugas bersama. Gasing Kutai tidak hanya merupakan permainan tradisional, tetapi juga cermin dari filosofi hidup masyarakat Kutai yang menjunjung tinggi kebersamaan, toleransi, dan demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk terus melestarikan dan mengenalkan permainan ini, bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai simbol kebudayaan yang memiliki makna mendalam.