Jakarta – “Kami bayar pajak untuk pendidikan, bukan pensiun anggota DPR,” ujar M. Farhan Kamase, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), saat menggugat Undang-Undang tentang tunjangan pensiun anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu teregistrasi dalam Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 dan menggugat sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980.
Farhan bersama empat mahasiswa lain dan dua dosen UII menilai pemberian tunjangan pensiun seumur hidup bagi anggota DPR merupakan praktik yang tidak adil. Mereka menilai alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seharusnya difokuskan pada pemenuhan hak dasar rakyat, bukan menjamin kesejahteraan permanen para mantan wakil rakyat.
“Pajak yang dibayarkan semestinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan pembukaan lapangan kerja,” ujar Farhan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Senin (27/10/2025).
Tunjangan pensiun anggota DPR disebut berlangsung seumur hidup hingga meninggal dunia, dan bahkan setengah dari dana pensiun tersebut dapat diwariskan kepada pasangan atau keluarga mereka. Dalam pandangan para pemohon, hal ini menimbulkan ketimpangan dan tidak mencerminkan keadilan dalam pengelolaan keuangan negara.
“Pemberian dana pensiun secara tidak proporsional ini mencederai hak konstitusional rakyat,” imbuh Farhan.
Pemohon menggugat ketentuan dalam Pasal 12, 16, 17, 18, dan 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang dinilai tumpang tindih dan tidak memberi kejelasan hukum. Salah satunya adalah frasa “meninggal dunia” yang dinilai multitafsir, apakah berarti penghentian tunjangan atau sekadar pengalihan penerima manfaat.
“Pemberian tunjangan seumur hidup ini tidak mencerminkan efisiensi dan keberpihakan terhadap kepentingan publik,” kata Alvin Daun, salah satu mahasiswa pemohon lainnya.
Mereka meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional, khususnya bila diterapkan kepada pejabat hasil pemilu seperti anggota DPR. Dalam petitumnya, para pemohon mendesak agar dana pensiun dari APBN untuk DPR dihapuskan atau dibatasi secara proporsional.
Langkah hukum ini menjadi sorotan publik di tengah kritik terhadap transparansi dan prioritas belanja negara, sekaligus menjadi pengingat bahwa kebijakan lama tak selalu sesuai dengan nilai keadilan hari ini.
