Jakarta – Dalam gema diplomasi yang semakin nyaring, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyuarakan kekhawatiran serius terhadap kebijakan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Ia menyebut kebijakan tersebut berpotensi langsung merugikan petani kecil Indonesia, terutama di sektor komoditas ekspor seperti coklat, karet, kopi, dan kelapa sawit.
Berbicara di Jakarta pada Kamis (3/7/2025), Havas menegaskan bahwa EUDR berisiko menciptakan hambatan besar bagi para smallholders untuk mengakses pasar Eropa. Dalam situasi di mana petani lokal telah berjuang memenuhi standar ekspor, kebijakan ini justru menambah beban administratif dan mempersempit peluang.
“Kita sudah pernah berdiskusi, dan beberapa problem yang kita hadapi sekarang, yang paling sangat berdampak yaitu terhadap smallholders,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi adanya usulan baru dari Uni Eropa yang berupaya mengecualikan petani lokal Eropa dari aturan EUDR dengan menerapkan standar baru bernama negligible risk.
“Kalau ini diterima, jelas ini bentuk diskriminasi. Ada aturan yang hanya berlaku untuk petani Eropa, sedangkan petani dari luar dikenai perlakuan berbeda,” tegas Havas.
Kebijakan ini dinilai tidak adil karena hanya menguntungkan produsen dalam negeri Uni Eropa. Padahal, negara-negara produsen seperti Indonesia tengah berupaya menjaga komitmen pada keberlanjutan sambil memperkuat perekonomian petani kecil.
Menanggapi spekulasi soal potensi pengajuan keberatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Havas menyatakan hal tersebut masih dalam pertimbangan, sebab proses pembahasan EUDR belum selesai.
“Pakar perdagangan di Eropa pun menilai EUDR berpotensi dibawa ke WTO oleh negara-negara non-Eropa,” tambahnya.
Havas juga menekankan bahwa isu EUDR tidak terkait langsung dengan perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Saat ini, Indonesia tergabung dalam kelompok like-minded countries (LMC) bersama 18 negara lain untuk membahas dampak kebijakan ini secara kolektif.
Pada 4 Juni 2025 lalu, pemerintah Indonesia telah menggelar dialog bilateral dengan Uni Eropa di Brussel. Dalam pertemuan itu, Indonesia mengkritik penetapan EUDR yang dinilai sepihak dan berdampak ekstrateritorial.
Indonesia mendesak klarifikasi atas dasar hukum, metodologi klasifikasi risiko, dan pengakuan terhadap sistem legalitas nasional. Pemerintah juga menyampaikan keberatan atas kewajiban pelacakan geolokasi digital yang dinilai memberatkan petani kecil.
Uni Eropa sendiri berjanji akan memberikan tanggapan tertulis atas berbagai pertanyaan tersebut dalam waktu dekat.