Jakarta – Mendagri Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan (Prokes) untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Tito mengingatkan kepala daerah terkait kewajiban dan sanksi pemberhentian sesuai UU tentang Pemda.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan Instruksi Mendagri tak bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah.
“Bahwa di dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi,” kata Yusril Kamis (19/11/2020).
Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah diserahkan secara langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU RI dan KPU di daerah. KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan calon sebagai pemenang dalam Pilkada. Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Yusril mengatakan, pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh Pemerintah
“Proses pelaksanaan pemberhentian Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” lanjut dia.
Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan keputusan tentang pengesahan pasangan gubernur atau bupati dan wali kota terpilih dan melantiknya. Dengan demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur. Ia pun mengatakan Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya. Semua proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD.
Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment). Jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi kepala daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak. Untuk tegaknya keadilan, maka kepala daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri. Untuk itu, lanjut Yusril, proses pemakzulan itu akan memakan waktu lama, mungkin setahun atau lebih.
“Yang jelas Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang membertentikan kepala daerah. Karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD,” papar Yusril.
Ia menambahkan, kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses sebagaimana diatur dalam Pasal 68 Ayat 2 UU Pemerintahan Daerah. Hal itu bisa terjadi bila ada pengusulan oleh DPRD dalam hal kepala daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Atau didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI.
“Kalau dakwaan tidak terbukti dan kepala daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya,” lanjut Yusril.
“Dan berdasarkan UU No 15 Tahun 2019, sudah tidak mencantumkan lagi Inpres sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Ini untuk mengakhiri keragu-raguan tentang status Inpres yang sangat banyak diterbitkan pada masa Presiden Suharto,” sambung Yusril.
Diberitakan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengaku telah mengeluarkan isntruksi Mendagri tentang penegakan protokol kesehatan. Tito meminta kepala daerah untuk menjadi teladan dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19 termasuk tidak ikut dalam kerumunan massa. Tito mengingatkan, kepada daerah wajib mematuhi aturan perundangan-undangan, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Menurut dia, tanpa Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Prokes untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19, kepala daerah pun sudah memiliki tanggung jawab menjaga ketertiban dan melindungi warga. Untuk menerapkan protokol kesehatan, kepala daerah tidak bisa bekerja sendiri.
Bima mengatakan, kepala daerah harus dididukung unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Dalam situasi tertentu seperti kerumunan massa berskala besar, penindakan berupa pembubaran oleh jajaran Satpol PP saja tidak cukup, harus dibantu aparat TNI dan Polri.
Pada Rabu (18/11/2020), Mendagri Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Prokes untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Tito mengingatkan kepala daerah terkait kewajiban dan sanksi pemberhentian sesuai UU tentang Pemda.
“Saya sampaikan kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk mengindahkan instruksi ini, karena ada risiko menurut UU. Kalau UU dilanggar dapat dilakukan pemberhentian,” ujar Tito.
Tito meminta kepala daerah mentaati peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian penyebaran Covid-19. Peraturan itu antara lain UU Wabah Penyakit Menular, UU Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Peraturan Presiden tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman PSBB, serta Peraturan Mendagri tentang Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Dalam salinan Instruksi Mendagri yang diterima wartawan, terdapat enam poin instruksi yang ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati, wali kota. Pertama, menegakkan secara konsisten protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19 berupa memakai masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak, dan mencegah terjadinya kerumunan yang berpotensi melanggar protokol tersebut.
Kedua, melakukan langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19 dan tidak hanya bertindak responsif/reaktif. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan yang dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.
Ketiga, kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi pemerintah di daerah masing-masing harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan, termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan. Keempat, kepala daerah diingatkan tentang kewajiban dan sanksi sesuai UU Pemerintahan Daerah.
Instruksi Mendagri ini menyebutkan bunyi Pasal 67 huruf b UU 23 Tahun 2014, yaitu (kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi) mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian menyebutkan juga ketentuan Pasal 78 terkait kepala daerah/wakil kepala daerah dapat berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Kepala daerah diberhentikan antara lain karena dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan serta tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b. Maka, diktum kelima menyatakan, kepala daerah yang melanggar ketentuan perundangan-undangan dapat dikenakan sanksi pemberhentian.
Keenam, Instruksi Mendagri ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan yakni 18 November 2020. Tito juga menegaskan, peraturan perundang-undangan juga termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, yang harus ditaati para kepala daerah agar tidak dikenakan sanksi pemberhentian.