Berau – Sair Lubis tidak pernah menyangka hidupnya, yang selama ini ia habiskan di lahan yang ia kelola bersama ratusan petani lainnya, akan berubah drastis. Dalam sekejap, tanah yang selama ini mereka olah menjadi sumber penghidupan diambil alih oleh sebuah perusahaan besar tambang, PT Berau Coal. Lahan seluas 1.290 hektar yang telah dikelola Kelompok Tani Usaha Bersama Maraang (Poktan UBM) sejak tahun 2000 kini dikuasai sepenuhnya oleh korporasi raksasa tersebut.
Bagi Lubis, yang sehari-hari lebih sering dipanggil akrab dengan sebutan “Pak Lubis,” perjuangan hidup di tanah Tumbit Melayu merupakan bagian dari cerita panjang masyarakat lokal. Sejak pertama kali membuka lahan, ia dan kelompok taninya menanam berbagai komoditas palawija dan sayur mayur. Mereka pun bukan kelompok yang sembarangan. Dengan legalitas yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat, sebanyak 647 anggota Poktan UBM mengolah lahan itu sebagai sumber penghidupan bagi keluarga mereka.
Namun, harapan itu runtuh saat PT Berau Coal mulai menunjukkan dominasi mereka di lahan yang telah menjadi milik bersama kelompok tani. Pihak perusahaan, menurut pengakuan Lubis, bahkan tidak pernah memberikan kesempatan dialog yang berarti. “Mereka selalu mengabaikan kami. Surat-surat dan dokumen yang diminta sudah kami lengkapi, tetapi janji mereka selalu tak pernah ditepati,” ujarnya dengan nada sedih.
Di satu sisi, Lubis dan kelompoknya merasa frustrasi karena lahan yang selama ini menjadi tempat hidup mereka perlahan-lahan berubah menjadi lahan tambang. Di sisi lain, aktivitas bertani mereka terhenti karena adanya larangan dari pihak keamanan perusahaan. “Kami dilarang masuk ke lahan kami sendiri karena dianggap mengganggu kegiatan tambang mereka. Ini tidak masuk akal,” ungkap Lubis dengan kecewa.
Sementara itu, Rafik, yang bertugas sebagai pengurus lahan, juga menyuarakan hal yang serupa. Baginya, tindakan yang dilakukan PT Berau Coal sangat tidak manusiawi. Rafik menyebut bahwa perusahaan sebesar PT Berau Coal seharusnya bisa lebih bijaksana dalam memperlakukan masyarakat lokal, bukan malah menambah beban hidup mereka. “Kami ini petani kecil. Mereka, dengan kekuatan besar dan modal yang luar biasa, seharusnya membantu kami, bukan malah merampas hak kami,” tegas Rafik.
Rafik juga menilai bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh PT Berau Coal sudah masuk kategori serius. Ia berharap pemerintah pusat, khususnya kementerian terkait, turun langsung ke lapangan untuk meninjau izin dan aktivitas perusahaan tambang tersebut. “Mereka perlu melakukan audit dan memastikan bahwa semua yang dilakukan PT Berau Coal ini sesuai dengan hukum. Kami ingin transparansi, bukan janji kosong,” ucap Rafik penuh harap.
Meskipun demikian, Rafik dan anggota kelompok tani lainnya tidak akan tinggal diam. Jika PT Berau Coal tidak menunjukkan itikad baik dalam waktu dekat, mereka berencana melaporkan perusahaan tersebut atas tuduhan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Mereka menuntut agar hak mereka dipulihkan dan meminta perusahaan untuk menunjukkan legalitas lahan yang saat ini telah dikeruk.
“Kami tidak akan berhenti sampai hak kami dikembalikan. Kami menuntut keadilan dan legalitas yang sah atas tanah yang kami garap selama ini,” pungkas Rafik.
Di tengah gemuruh suara mesin-mesin tambang yang beroperasi, cerita Lubis dan kelompok taninya menjadi simbol perlawanan masyarakat kecil terhadap korporasi besar. Di tanah yang dulu mereka sebut sebagai rumah, kini mereka hanya bisa berharap keadilan bisa segera berpihak pada mereka.