Kampung pesisir ini pernah menjadi saksi bisu kerasnya masa pendudukan Jepang di Kalimantan Timur. Tahun 1942 hingga 1945, Bontang belumlah kota industri seperti sekarang. Ia hanya perkampungan nelayan yang bergantung pada laut, namun ikut terseret arus sejarah besar ketika pasukan Jepang menguasai Hindia Belanda.
Pendudukan Jepang di Kalimantan Timur merupakan bagian dari strategi besar menguasai sumber daya Asia Tenggara. Kutai, sebagai pusat kerajaan yang menaungi Bontang, tunduk pada pemerintahan militer Jepang. Sultan Aji Muhammad Parikesit diberi gelar kehormatan “Kō” oleh penguasa Jepang, menandai perubahan kuasa dari Belanda ke Jepang.
“Sistem kekuasaan berubah, tapi beban rakyat tetap berat,” tulis catatan sejarah dari modul resmi Kementerian Pendidikan.
Warga Bontang tak luput dari kebijakan romusha, yakni kerja paksa yang merenggut puluhan ribu nyawa di seluruh Indonesia. Meski sebagian besar romusha didatangkan dari Jawa, warga lokal juga ikut terlibat. Selain itu, Jepang membentuk organisasi seperti Seinendan (pemuda), Keibodan (pertahanan sipil), hingga Fujinkai (organisasi perempuan). Semua diarahkan untuk mendukung kekuatan militer pendudukan.
Di sisi ekonomi, masa ini dikenal sebagai era “ekonomi perang”. Penangkapan ikan, perdagangan hasil laut, hingga pergerakan penduduk sangat dibatasi. Bontang yang semula hidup tenang harus menyesuaikan diri dengan setoran hasil laut, pembatasan bahan pangan, dan kontrol ketat aparat.
Di sekolah, bahasa Jepang mulai diperkenalkan. Anak-anak muda diajari baris-berbaris, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, dan menjalani pelatihan kedisiplinan ala militer. Tujuan utamanya adalah menanamkan propaganda “Asia Timur Raya” dan menghapus simbol-simbol kolonial lama.
Namun kekuasaan Jepang tidak bertahan lama. Setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Bagi masyarakat Bontang, fase ini adalah titik balik. Meski kehidupan belum langsung membaik, jalan menuju perubahan telah terbuka. Tahun-tahun berikutnya akan membawa kota ini ke arah yang jauh berbeda—menuju era industrialisasi yang membentuk wajah Bontang hari ini.
Mengenang babak sejarah 1942–1945 di Bontang bukan sekadar mengenang masa sulit. Ini adalah pengingat tentang daya tahan masyarakat pesisir menghadapi tekanan zaman. Dan dari perkampungan nelayan itu, lahirlah kota modern yang kita kenal sekarang.
