Surabaya – Penurunan suhu ekstrem di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menyebabkan munculnya fenomena embun es, yang dikenal oleh masyarakat lokal sebagai embun upas. Fenomena ini terjadi di sejumlah titik di kawasan tersebut.
“Embun upas atau frost merupakan fenomena yang sering terjadi khususnya di kawasan TNBTS saat musim kemarau,” kata Kepala Bagian Tata Usaha TNBTS, Septi Eka Wardhani, dalam keterangan yang diterima di Surabaya, Senin (15/7/2024).
Penyebab Munculnya Embun Upas
Septi menjelaskan bahwa embun upas terjadi karena udara dingin yang disebabkan oleh angin munson Timur yang berembus dari benua Australia. Fenomena ini terjadi ketika suhu udara cukup dingin, berkisar antara 5 – 9 derajat Celsius, dan biasanya dijumpai pada pagi hari sebelum matahari terbit dengan sempurna. Embun upas akan menghilang saat matahari mulai meninggi.
Pada musim kemarau, cuaca cenderung lebih dingin karena adanya penurunan suhu yang cukup ekstrem. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau tahun 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus.
Eksotisme Wisata Gunung Bromo
Kemunculan embun upas yang membeku menyerupai salju membuat kawasan wisata Gunung Bromo dan sekitarnya tampak semakin eksotis. Pemandangan kawasan Lautan Pasir Gunung Bromo tampak memutih dan lebih menarik.
“Kemunculan embun upas yang membeku menyerupai salju membuat kawasan wisata Gunung Bromo dan sekitarnya tampak semakin eksotis. Pemandangan kawasan Lautan Pasir Gunung Bromo tampak memutih dan lebih menarik,” katanya.
Persiapan Pengunjung
Septi mengimbau calon pengunjung yang akan mengunjungi kawasan wisata Bromo untuk mempersiapkan diri dengan baik. Pengunjung disarankan menggunakan pakaian dan jaket tebal, serta memakai sarung tangan dan kupluk atau kerpus. Bagi yang memiliki riwayat penyakit asma, diharapkan berhati-hati dan menjaga kondisi sebaik mungkin.
BMKG juga mengimbau kepada Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau, terutama di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal (lebih kering dibanding biasanya).
“Wilayah tersebut diprediksi dapat mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta kekurangan sumber air,” ujarnya.