Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang ramah dan paling dermawan. Berdasarkan laporan World Giving Index 2023 oleh Charities and Foundation, Indonesia mendapatkan nilai 68 dan menempati posisi pertama sebagai negara paling dermawan di dunia. Sedangkan, indikator penilaian yang diambil ialah persentase menolong orang tidak dikenal, persentase jumlah donatur, dan kegiatan sukarelawan. Predikat ini tentu menjadi salah satu sisi positif selain sebagai negara dengan tingkat intelektual yang tergolong rendah.
Sebagai negara yang besar, Indonesia tentu menjadi primadona para korporasi asing karena memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dengan hasil alam yang begitu banyak, kekayaan Indonesia berhasil membuat VoC singgah di Indonesia selama 350 tahun dengan menjarah sumber daya alam yang negara ini miliki. Tak hanya VoC, negara asing seperti Portugis, Jepang, hingga Amerika Serikat pun melirik Indonesia menguasai kekayaan alamnya.
Namun, lain dulu lain sekarang. Saat ini yang tertarik dengan kekayaan alam Indonesia bukan hanya Blok Barat, tapi juga Blok Timur seperti China. Maka dari itu, China juga mempunyai ambisi besar dalam persaingan negara super power, salah satunya melalui inisiasi One Road One Belt.
Inisiasi One Belt One Road (OBOR) merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Tiongkok dengan berbagai negara di dunia untuk membangun sebuah jalur perdagangan yang pada zaman dahulu merupakan jalur yang dilewati oleh pedagang dari Eropa ke Cina. OBOR merupakan salah satu bentuk dari fenomena globalisasi yang menciptakan efek borderless bagi setiap negara yang dilaluinya. Fokus utamanya adalah
investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api, jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, besi, dan baja.
Indonesia, dalam menghadapi tantangan dan kepastian ekonomi global memulai perannya untuk pembangunan ekonomi nasional, salah satunya yaitu dengan melalui kebijakan hilirisasi di mana produk seperti bijih nikel, bauksit, maupun produk minerba lainnya harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor.
Hilirisasi merupakan sebuah proses penghiliran atau pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai, term ini kembali populer menjelang Pilpres 2024. Seperti yang kita tahu bahwa Calon Presiden Prabowo Subianto memasukkan hilirisasi ke dalam program kerjanya, yang mana sebagai bentuk lanjutan dari kebijakan Presiden Jokowi.
Hilirisasi sering disebut downstreaming atau value-adding, yang artinya upaya meredam ekspor bahan mentah dan sebaliknya mendorong industri domestik untuk menggunakan bahan tersebut karena meningkatkan nilai tambah domestik -sembari menciptakan lapangan kerja- (Patunru, 2015)2. Nah, upaya untuk meredam ekspor ini jika nantinya diharuskan untuk melakukan ekspor maka, yang akan diekspor adalah barang jadi dengan nilai/harga yang lebih tinggi sehingga dapat mengerek ekonomi negara.
Tentu banyak di antara kalian yang masih bingung, apakah hilirisasi ini bagus untuk ekonomi Indonesia atau malah sebaliknya?
Pro dan Kontra Kebijakan Hilirisasi
Tak dapat dipungkiri, setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah tentu menuai beragam reaksi pro dan kontra. Seperti halnya Presiden Jokowi dalam kebijakan hilirisasinya yang mendapat reaksi kontra dari ekomon senior, Faisal Basri.
Dikutip dari laman trenasia.com, Faisal Basri menilai bahwa 90% upaya hilirisasi nikel hanya menguntungkan perusahaan Tiongkok. Presiden Jokowi pun langsung membantah penilaian Faisal, ia mengatakan bahwa hilirisasi nikel justru meningkatkan nilai ekspor nikel sehingga pendapatan negara semakin bertambah. Mendengar bantahan dari Presiden Jokowi, Faisal pun kembali bereaksi dengan mempertanyakan datanya.
Faisal memaparkan data, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp 11,865 per USD. Lalu, ia mempertanyakan dari mana angka Rp 510 triliun tersebut. Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD 27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar RP 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun (trenasia.com)3.
Ketika Saya bertanya kepada kawan lama, “Apakah Kamu setuju dengan kebijakan hilirisasi?” Ia justru melontarkan pertanyaan seperti, “Loh loh loh, ini hilirisasi sekedar terminologi atau substansi?”. Kawan Saya itu kembali menimpali dengan menegaskan bahwa hilirisasi itu yang paling penting ialah value-adding. Jika sebuah kebijakan tidak mempunyai kerangka yang jelas, maka value-nya tidak mempunyai arti apapun, karena seperti yang sudah dijelaskan di awal, hilirisasi bukan hanya meredam ekspor tapi juga berhenti ketergantungan dengan produk impor dan mengandalkan produk dalam negeri untuk menggantikannya.
Albert Hirschman, pemikir awal teori hilirisasi pada tahun 1958, menganjurkan agar kebijakan hilirisasi memiliki kerangka substansi impor4. Yang dimaksud dengan
Industrialisasi Substansi Impor yaitu, kebijakan perdagangan dan ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri.
Gugatan Eropa Melalui WTO
Dalam upaya menerapkan kebijakan hilirisasi, Indonesia mendapat banyak sentimen negatif, salah satunya dari Uni Eropa.
Uni Eropa melayangkan gugatan kepada Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) imbas dari kebijakan hilirisasi minerba. Uni Eropa menilai bahwa kebijakan larangan bijih nikel melanggar Pasal XI Ayat 1 GATT Tahun 1994, yang menyatakan bahwa tidak ada pembatasan atau larangan pada produk ekspor apapun. Sebagai bahan informasi, GATT merupakan singkatan dari General Affairs on Tariffs and Trade, yang mana Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan dengan negara- negara lain.
Indonesia sendiri telah menandatangani perjanjian ini dalam Pertemuan Tingkat Menteri peserta Putaran Uruguay, pada tanggal 15 April 1994 di Marrakech, Maroko. Pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta seluruh persetujuannya5.
Uni Eropa membawa permasalahan ini ke WTO karena baik Uni Eropa maupun Indonesia keduanya merupakan anggota dari WTO. Kebijakan yang dikeluarkan Indonesia dilihat Uni Eropa sebagai hambatan perdagangan. Oleh karena itu terkait dengan keputusan pemerintah Indonesia, Uni Eropa merasa sangat dirugikan (Iga Dhea Hanif, 2021).
Nilai Ekspor Produk Nikel Indonesia
Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, pada acara Jakarta Geopolitical VII 2023 di Jakarta mengatakan, nilai ekspor nikel hasil hilirisasi Indonesia sebesar USD 33 miliar atau sekitar Rp 500 triliun pada tahun 2022. Nilai ekspor itu, naik menjadi 745%.
dibanding tahun 2017. Dengan capaian itu, tentu membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia. Maka dari itu, Uni Eropa melayangkan protes imbas kebijakan hilirisasi, yang tentunya membuat mereka kekurangan bahan mentah ‘murah’ yang akan mereka olah dan nantinya akan dijual dengan harga yang lebih tinggi6.
Selain Luhut, Gibran Rakabuming juga menyebutkan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia tahun 2022 mencapai USD 33 miliar. Hal itu ia sampaikan pada acara debat Cawapres (22/12/203), namun, benarkah demikian?
Dikutip dari laman CNBC Indonesia, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor bijih nikel pada 2010-2019 atau 10 tahun, rata-rata mencapai USD 710,095 juta dengan volume menembus 23,28 juta ton. Sementara itu, ekspor feronikel mencapai USD 789,43 juta dengan volume mencapai 485.521 ton. Ekspor nikel dan barang daripadanya mencapai USD 928,57 juta dengan volume 97 ribu ton.
Khusus pada 2022, ekspor feronikel mencapai USD 13,621 miliar atau melesat 424,8%% dibandingkan sebelum larangan ekspor pada 2019. Ekspor nikel dan barang daripadanya mencapai USD 5,98 miliar, terbang 635,2% dibandingkan sebelum larangan ekspor pada 20197. Jadi, dari mana Luhut dan Gibran mendapatkan angka USD 33 miliar?
Hilirisasi dan Ambisi China
Laman theconversation.com (01/04/2019) memuat artikel yang berisi peran China dalam investasi smelter di Indonesia, dikatakan bahwa “…One example of how partnering with China could support Indonesia’s economy is China’s investment in building the Morowali Industrial Park in Central Sulawesi to increase Indonesia’s stainless steel production.”
Artikel yang berjudul “Understanding the benefits of Chinese-Indonesia economic partnerships ahead of Indonesia’s presidential election” itu berisikan tentang strategi China untuk meng-goal-kan One Road One Belt yang tentunya membutuhkan pasokan baja hasil nikel yang di-hilirisasi oleh Indonesia. Selain itu, artikel itu juga membahas tentang sentimen negatif ke China serta jebakan utang China ke negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Untuk memperjelas dugaan Saya ini, berikut Saya tuliskan daftar beberapa perusahaan smelter asing di Indonesia yang berperan dalam mensukseskan kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi:
Vale Indonesia, yang perusahaan induknya berasal dari Kanada. Sementara itu, Vale Indonesia sendiri terdiri dari beberapa investor seperti: Vale Canada Limited, Sumitomo Metal Mining (Jepang), Vale Japan Limited, Indonesia Asahan Aluminium.
Gunbuster Nickel Industry, dimiliki oleh Tony Zhou Yuan asal China yang juga menjabat sebagai Direktur Operasional PT GNI. Gunbuster Nickel Industry sendiri berada di bawah kepemilikan perusahaan asal Tiongkok, yakni Jiangsu Delong Nickel Industry Co, Ltd.10, PT. Wanxiang Nickel Indonesia (Wanxiang Nickel China), Huayou Nickel Cobalt (bagian dari Zhejiang Huayou Cobalt)11.
Tujuan Ekspor Hilirisasi Nikel
Selain daftar perusahaan asing tadi, dugaan Saya juga berasal dari tujuan ekspor barang nikel hasil hilirisasi, dikutip dari laman databoks, Tiongkok menempati urutan paling atas sebagai negara tujuan barang nikel hasil hilirisasi yaitu sebesar 394,08 juta kilogram per Januari – Mei tahun 2023. Sedangkan Jepang dan Norwegia berada di peringkat bawahnya dengan masing-masing 39,06 juta kilogram dan 24,25 juta kilogram, yang mana menurut Saya semakin memperjelas pemanfaatan Indonesia untuk membangun kejayaan Tiongkok12.
Coba amati, gap yang terlalu jauh antara China – Jepang – Norwegia tentu menimbulkan pertanyaan, “Kenapa ekspor ke China jauh lebih besar hingga 100 kali lipat? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dan, apa yang sebenarnya diinginkan oleh China?”. One Road One Belt seperti yang sudah Saya singgung di awal, investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api, jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, besi, dan baja merupakan fokus utama dari One Road One Belt.
Jadi sederhananya, China memberikan utang ke banyak negara lalu negara-negara itu dijadikan ‘sapi perah’ oleh China untuk menyuplai barang yang bertujuan untuk ‘menjayakan’ China yang sedang dalam pembangunan besar-besaran melalui One Road One Belt. Bukankah menyedihkan?
Los – Dol Hilirisasi Nikel
Saya pribadi setuju dengan kebijakan hilirisasi, tapi, jika kebijakan itu terdapat kerangka maupun substansi yang jelas, terdapat value-adding, serta mengandalkan perusahaan lokal/swasta dalam pengelolaan smelter nikel di Indonesia. Memulai untuk berhenti ketergantungan dengan produk impor juga sangat diperlukan agar Indonesia mencapai industrialisasi, namun faktanya, perusahaan-perusahaan smelter justru didominasi oleh perusahaan asing yang mayoritas kepemilikan sahamnya pun milik asing.
Seperti yang terjadi di PT. Vale Indonesia, di mana 43,79% dimiliki oleh Vale Canada Limited, 20,64% dimiliki oleh publik, 20% dimiliki oleh Asahan Indonesia Aluminium, 15,03% dimiliki oleh Sumitomo Metal Mining, dan 0,54% dimiliki oleh Vale Japan Limited.
Selain Vale Indonesia, ada juga PT. Central Omega Resource yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Jinsheng Mining (59,76%), pemegang saham publik (34,54%). Lantas, jika mayoritas pemegang saham perusahaan smelter dikuasai oleh asing, apakah berbahaya bagi Indonesia?
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Jannus TH Siahaan, pada 22 Juni 2023 menerbitkan sebuah tulisan yang berjudul “Risiko Tersembunyi Hilirisasi Nikel”. Dalam tulisan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia tidak saja rugi secara ekonomi karena harus menahan diri dari hasrat untuk mendapatkan revenue, namun juga harus menanggung beban akibat rusaknya lingkungan.
Masih dikutip dari laman yang sama, hasil kajian Tim Studi China – Indonesia di Center of Economic and Law Studies (Celios), terkait hilirisasi nikel di Sulawesi sangat menarik. Sebagaimana dipaparkan oleh Direktur Studi China Indonesia Celios, M Zulfikar Rakhmat Ph.D, Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal China. Angka itu didapat dari perhitungan Celios berdasarkan pemberian tax holiday kepada smelter nikel China di Sulawesi selama rentang waktu 30 tahun, alias perusahaan- perusahaan tersebut tidak membayar pajak13.
Berbicara mengenai perusahaan smelter yang merusak lingkungan, masih membekas di ingatan kita tentang sebuah kasus pada 24 Desember 2023, di mana sebuah tungku di smelter nikel milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel meledak dan menewaskan 18 pekerja di Kawasan Morowali Industrial Park. Sebuah laporan dari Center of Economic and Law Studies (Celios) bertajuk “Polemik Investasi China di Indonesia”, smelter-smelter nikel yang didanai oleh China itu kerap menimbulkan isu serius, khususnya di sektor lingkungan dan sosio ekonomi.
Indonesia Membangun China
Amerika Serikat setidaknya membutuhkan waktu selama 30 tahun untuk mengurangi polusi udara akibat emisi industri dan kendaraan, sedangkan China hanya membutuhkan waktu 7 tahun untuk mengurangi polusi yang sama sebesar 40%. Menakjubkan, bukan? Penurunan polusi di China ini menjadi yang tercepat di dunia. Bagaimana bisa?
Pada tahun 2013, China mencatatkan rata-rata 52,4 mikrogram per meter kubik polutan PM 2,5 atau sepuluh kali lebih banyak dari batas yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan dunia (WHO)15.
China sendiri pada akhir 2013 melakukan perang melawan batubara, dengan target mengurangi 35% polusi selama 5 tahun. Selain itu, guna totalitas dalam melawan polusi batubara, China melarang pembangunan Pembangkit Listrik berbahan batubara di hampir seluruh kawasan yang kualitas udaranya tidak sehat. Sedangkan, langkah lain yang dilakukan oleh China guna mengurangi polusi udara yaitu dengan mengurangi kapasitas produksi besi dan baja.
Coba pikir, China sedang melakukan pembangunan besar-besaran sekaligus melawan polusi udara di tengah pembangunan yang besar itu. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa! Yaitu dengan penanaman modal ke negara-negara seperti Indonesia, di mana perusahaan China memproduksi besi, baja, hingga baterai (produk hilirisasi nikel) di Indonesia yang nantinya produk hasil hilirisasi nikel akan diekspor ke China dengan jumlah lebih dari 340 juta kilogram. Produk ekspor dari Indonesia itu tentu digunakan untuk pembangunan negara China, sedangkan di China sendiri produksi industri yang mencemari udara (besi dan baja) dilarang beroperasi.
Sebuah langkah cerdas, kan?
Ditulis oleh Hara Nirankara
Departemen Kajian Strategis Lingkar Kajian Kota Pekalongan