Samarinda – Siang yang hangat di Samarinda, kota yang sering kali dikelilingi oleh hiruk-pikuk bisnis dan birokrasi. Namun, pada Rabu, 21 Agustus 2024, suasana di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) terasa lebih tegang dari biasanya. Tepat pukul 14.00 WITA, seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang telah lama berada di bawah radar hukum, akhirnya dipanggil untuk menjalani pemeriksaan intensif. Ia adalah MRF, yang selama ini menjabat di Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (UPTD-KPHP) Berau Pantai, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur.
Pemeriksaan yang berujung pada penetapan MRF sebagai tersangka merupakan puncak dari penyelidikan panjang atas dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi yang melibatkan dirinya. MRF diduga telah menerima aliran dana sebesar lebih dari Rp7,7 miliar selama lima tahun, mulai dari 5 Januari 2018 hingga 8 Desember 2023. Jumlah fantastis ini didapat dari berbagai perusahaan pemegang Hak Pemanfaatan Kayu, sebagai imbalan atas jasa pengurusan dokumen penting seperti Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Rencana Kerja Tahunan (RKT), Rencana Kerja Usaha (RKU), Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) Online, Sertifikat Legalitas Kayu (SLVK), dan Biaya Ganis.
Korupsi di Hutan Kalimantan Timur: MRF, PNS dengan Kekuasaan di Tangan
Hutan Kalimantan Timur, dengan segala kekayaan alamnya, kerap kali menjadi pusat perhatian berbagai pihak. Namun, siapa sangka di balik kehijauan dan kesuburannya, terselip praktik korupsi yang mengerikan. MRF, seorang PNS yang seharusnya menjadi pengayom dan penjaga kelestarian hutan, justru memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam rentang waktu yang panjang, MRF diduga menetapkan tarif tinggi untuk setiap pengurusan dokumen yang menjadi tanggung jawabnya. Para pengusaha kayu yang membutuhkan kepastian legalitas operasional mereka tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan tersebut. Uang pun mengalir deras ke rekening MRF, baik secara langsung maupun melalui rekening atas nama orang lain. Modus yang dilakukan terbilang rapi dan tersembunyi, hingga akhirnya satu persatu transaksi mencurigakan mulai terungkap.
Kejati Kaltim, yang telah lama membidik MRF, akhirnya mengantongi bukti-bukti kuat untuk menyeretnya ke meja hijau. Penetapan tersangka dilakukan berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP 09/O.4/Fd.1/08/2024, dengan dasar hukum Pasal 11 atau Pasal 12B UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001, serta Jo Pasal 64 KUHP.
Penahanan dan Alasan Dibaliknya
Setelah pemeriksaan intensif, MRF langsung ditetapkan sebagai tersangka dan tak lama kemudian, ia pun digiring menuju Rutan Kelas IIA Samarinda untuk menjalani masa penahanan selama 20 hari ke depan, hingga 9 September 2024. Penahanan ini bukan tanpa alasan. Penyidik khawatir MRF akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau bahkan mengulangi perbuatannya.
Korupsi yang dilakukan MRF tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam kelestarian hutan Kalimantan Timur, yang seharusnya dijaga dengan sebaik-baiknya. Kasus ini menjadi cerminan betapa kuatnya godaan korupsi di kalangan birokrat, terutama mereka yang memiliki akses langsung ke sumber daya alam.
Kini, publik menanti langkah selanjutnya dari aparat penegak hukum. Apakah MRF akan menerima hukuman setimpal dengan perbuatannya? Ataukah kasus ini akan menjadi pelajaran berharga bagi birokrat lain untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya? Yang pasti, langkah tegas Kejati Kaltim telah membuka tabir gelap di balik bisnis kayu di Kalimantan Timur, sebuah langkah awal yang diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas aparat negara.