Mojokerto – Ol (6) terlihat memegang bak plastik tempat nasi berwarna hijau. Dirinya mendekati peziarah yang usai memanjatkan do’a pagi itu, Kamis (27/1/2022).
“Minta sedekahnya pak, semoga bapak dan ibu dilancarkan rejekinya dan dikabulkan hajatnya, ” ungkap Olivia berulang-ulang.
Tak ayal, satu persatu penziarah di Makam Troloyo Mojokerto tersebut memberikan uang pecahan Rp2 ribu hingga Rp10 ribu. Olifia terus memalas meminta sedekah.
“Sedekahnya Umi, semoga hidup Umi berkah, ” ujarnya memelas.
Usai peziarah sepi, kami mencoba mendekati Ol. Dirinya mengatakan saat ini bersekolah di salah satu SDN di Mojokerto.
“Kelas satu pak, ini pulang duluan soalnya gurunya sedang rapat, ganti baju baru kesini, ” ujar Ol.
Dirinya terpaksa mengemis karena disuruh orang tuanya terutama ibunya. Sejak kecil dirinya sudah di ajak mengemis di sekitar makam di Mojokerto. Ia mengaku memiliki dua adik kembar yang kadang di ajak ibunya mengemis.
“Sejak kecil sudah di ajak-ajak ibu untuk minta-minta, ” ucapnya polos.
Dalam sehari Ol mengaku mendapatkan minimal Rp100 ribu. Kalau ahir pekan bisa sampai Rp300 ribu. Dirinya beralasan mengemis untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolah. Bapaknya berprofesi sebagai buruh bangunan dan ibunya sebagai pengemis juga.
“Uangnya untuk makan dan uang jajan sekolah pak, ” tuturnya.
Dirinya mengaku diberi uang jajan sekolah seribu rupiah oleh ibunya. “Kalau mau berangkat sekolah diberi seribu oleh ibu, ” terangya.
Sementara itu F (5) berprofesi sama menjadi pengemis. Menurutnya, dirinya merasa senang karena banyak memiliki uang yang banyak dari hasil mengemis.
“Senang, banyak uang pak, bisa jajan macem-macem, ” ungkap F.
Badan F lebih gemuk dari Ol, saat ini F sekolah di TK A dekat dia mengemis. Dirinya mengaku setiap hari bermain sambil mengemis di daerah makam tersebut.
“Ya bermain sambil minta sedekah, uangnya saya kasih ke ibu, ” bebernya.
Sementara itu, Anggota APHTN/HAN Jatim (Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara) Ahmad Heru Romadhon, SH. M.H tidak membenarkan perbuatan eksploitasi anak untuk mengemis.
“Dari perspektif hukum harus mencerminkan edukasi hukum yang luas guna dalam membangun optik kesadaran hukum yang mencirikan kedudukan dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak di linkungannya masing-masing,” ungkap Heru saat dihubungi, Rabu (26/1/2022).
Tren kasus yang melibatkan anak dalam eksploitasi ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam UU 35/2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 59 ayat (2) huruf d, yang memberikan perlindungan khusus kepada anak.
“Dalam hal perlindungan khusus bagi anak dapat dilakukan melalui pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, ataupun memberikan bentuk lain bantuan yang dipandang menguntungkan dan bermanfaat untuk anak, ” imbuhnya.
Penyimpangan terhadap eksploitasi ekonomi terhadap anak, tentu saja itu tidak boleh dibiarkan terus berlanjut dan dibiarkan begitu saja. Diperlukan langkah-langkah yang sistemtis dari pemerintah setempat, perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi masyarakat, organisasi pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
“Peran serta semua pihak terkait memiliki arti penting dalam mensosialisasikan dan edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak, ” terangnya.
Dengan demikian, tindakan orangtua yang ‘mempekerjakan’ anak sebagai pengemis digolongkan sebagai tindakan eksploitasi anak secara ekonomi.