Setiap manusia membawa bawaan lahir yang membentuk cara berpikir, merasa, dan berperilaku. Inilah yang dikenal sebagai temperamen—aspek mendasar dari kepribadian yang menentukan bagaimana seseorang merespons dunia di sekitarnya. Namun, sering kali orang keliru membedakan antara temperamen dan temperamental. Meski terdengar serupa, maknanya jauh berbeda.
Temperamen adalah struktur psikologis dasar, stabil, dan biasanya terbentuk sejak usia dini. Berbeda dengan temperamental yang lebih merujuk pada perubahan emosi secara cepat atau reaksi yang berlebihan, biasanya akibat rangsangan eksternal.
Dalam kajian psikologi, menurut Rothbart & Derryberry (1981) dalam Developmental Psychology dan diulas ulang oleh Shiner & Caspi (2003) di Annual Review of Psychology, temperamen merupakan fondasi perkembangan kepribadian sepanjang hidup seseorang. Penelitian terbaru oleh Martel (2013) yang dimuat di ScienceDirect juga menunjukkan bahwa kombinasi genetik dan lingkungan membentuk ekspresi temperamen, dan itu berpengaruh pada kesehatan mental dan perilaku sosial seseorang (Martel, 2013).
Empat Jenis Temperamen
-
Sanguinis:
Tipe ini dikenal ceria, ramah, dan mudah bergaul. Mereka senang berada dalam keramaian dan cenderung optimis. Meski demikian, sifatnya yang mudah bosan membuat mereka sulit untuk fokus pada tugas-tugas jangka panjang. -
Melankolis:
Dikenal sebagai sosok yang analitis, setia, dan sensitif. Mereka memiliki standar tinggi dan kemampuan berpikir mendalam. Namun, mereka mudah merasa kecewa dan rentan terhadap kecemasan. Studi dalam Jurnal Psikologi Insight (SINTA 3) oleh Yunita (2021) mengungkap bahwa individu melankolis memiliki kecenderungan perfeksionisme yang tinggi, yang bisa berpengaruh pada stres kerja jika tidak dikelola dengan baik. -
Plegmatis:
Tipe yang damai, sabar, dan penuh empati. Mereka cenderung menghindari konflik, lebih suka berperan sebagai penengah, dan sulit mengekspresikan emosi. Akibatnya, mereka bisa tampak pasif dan kurang ambisius. -
Koleris:
Individu koleris tegas, percaya diri, dan memiliki jiwa pemimpin. Mereka ambisius, efisien, namun juga bisa keras kepala dan sulit dikritik. Dalam penelitian oleh Zuckerman & Glicksohn (2016) di Personality and Individual Differences, ditemukan bahwa temperamen koleris cenderung berkaitan dengan kepemimpinan namun juga risiko stres tinggi bila tidak dikelola (Zuckerman & Glicksohn, 2016).
Mengelola Temperamen Dominan
Temperamen memang sifat bawaan, namun bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Dengan kesadaran diri, seseorang dapat mengelola dampak negatif dari temperamennya. Misalnya, seseorang dengan temperamen koleris yang mudah marah bisa memanfaatkan teknik pernapasan, olahraga, atau terapi seni untuk menyalurkan emosinya secara sehat.
Dalam artikel ScienceDirect oleh Gross & Thompson (2007), strategi regulasi emosi seperti cognitive reappraisal terbukti mampu membantu individu dalam menyesuaikan reaksi emosional terhadap situasi pemicu stres (Gross & Thompson, 2007).
Bagi mereka yang kesulitan mengendalikan temperamen hingga berdampak pada hubungan sosial, bantuan profesional seperti psikolog dapat menjadi solusi terbaik. Pendekatan konseling berbasis temperamen, seperti yang dikembangkan dalam Jurnal Psikologi Ulayat (SINTA 2) oleh Rahayu & Fitriana (2022), terbukti efektif dalam membantu klien mengenali dan mengelola pola-pola reaktif mereka.
Temperamen Warna Unik Setiap Individu
Temperamen membentuk warna unik pada setiap individu. Meskipun bawaan, ia tidak bersifat mutlak. Melalui kesadaran, refleksi diri, dan strategi pengelolaan emosi, kita bisa membentuk temperamen menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Karena sejatinya, mengenali diri sendiri adalah awal dari pertumbuhan yang sejati.