Adupi – Penolakan terhadap hijab tidak membuat siswi Muslimah di sekolah di negara bagian Karnataka, India, untuk menyerah atas keyakinan agama mereka.
“Hijab saya, kebanggaan saya” itulah yang dikatakan oleh beberapa siswi Muslim di Sekolah Tinggi Wanita Pemerintahan Dr G Shankar (Dr G Shankar Government Women’s First Grade College) di Udupi, ketika mereka keluar meninggalkan kampus mereka lantaran tidak mengizinkan hijab dalam ruang kelas pada Rabu (16/2/2022).
Institusi ini terletak beberapa kilometer dari Sekolah Pra-Universitas Wanita Pemerintah (Government Women’s PU College), di mana kontroversi hijab pertama pecah pada Januari 2022 lalu.
Sekolah ini memutuskan untuk menolak para siswi yang mengenakan hijab, sesuai perintah sementara dari Pengadilan Tinggi Karnataka.
“Kami tidak siap duduk di kelas dengan melepas hijab (jilbab). Kami akan menunggu sampai pengadilan memberikan keputusan akhir. Perguruan tinggi ini telah baik kepada kami karena mereka mengizinkan kami untuk mengikuti kelas online,” kata seorang mahasiswa seni, yang meminta namanya tak disebutkan, dilansir di Deccan Herald, Kamis (17/2/2022).
Sekolah Tinggi Dr G Shankar di Udupi ini sebelumnya mengizinkan siswa untuk mengenakan jilbab selama 13 tahun terakhir. Namun karena perintah pengadilan sementara itu, sekolah mengikuti aturan yang ada.
“Kami tidak ingin merusak nama baik kampus. Mereka telah mengutip perintah pengadilan untuk tidak membiarkan kami masuk ke dalam dengan mengenakan hijab. Kami diperbolehkan memakai jilbab di kampus termasuk kantin atau koridor,” kata para siswa sekolah tersebut.
Kepala Sekolah, Bhaskar Shetty, mengatakan beberapa siswi Muslimah memilih untuk menghadiri kelas dengan melepas jilbab. Menurutnya, pihaknya mencoba meyakinkan siswi yang lainnya untuk mengikuti kelas, tetapi mereka bersikeras agar mereka diizinkan masuk ke dalam kelas dengan mengenakan jilbab.
“Kami memberi tahu mereka tentang perintah pengadilan. Mereka telah memutuskan untuk menunggu sampai ada putusan terakhir,” kata Shetty.
Dia mengatakan, keputusan untuk memberikan kelas online kepada mahasiswa yang memprotes akan diambil setelah berkonsultasi dengan para dosen.
Sementara itu, orang tua dari beberapa siswa menuduh bahwa perguruan tinggi tersebut telah melanggar aturan dan arahan pengadilannya sendiri.
“Pengadilan telah mengarahkan perguruan tinggi untuk mempertahankan status quo. Kami memasukkan putri saya ke kelas ini karena perguruan tinggi mengizinkan mengenakan jilbab di kelas,” kata salah satu orang tua, Mohammed Haneef.
Dia datang ke kampus dengan panik karena putrinya tidak menjawab panggilan teleponnya saat dia berada di kelas. “Jika perguruan tinggi tidak mengizinkan siswa berhijab, saya akan berhenti menyekolahkan putri saya ke perguruan tinggi tersebut,” katanya menegaskan.
Haneef mengatakan dia merasa pemerintah sengaja menciptakan kontroversi ini untuk menghalangi masyarakat miskin termasuk Muslim dari pendidikan yang bagus.
“Saya ingin putri saya belajar hukum dan menjadi hakim. Pemerintah tidak dapat mentoleransi pertumbuhan seperti itu di antara minoritas,” ujarnya.
Beberapa orang tua dilaporkan datang ke kampus untuk membawa pulang putri mereka setelah siswa berhijab ditolak masuk ke dalam kelas. Akibat kericuhan tersebut, para dosen tidak bisa membuka kelas bagi mahasiswa yang sudah berada di dalam kelas.