Jakarta – Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka. Menteri Edhy diduga mendapatkan uang gratifikasi terkait izin ekspor benih lobster. Dia beserta enam tersangka lainnya terjaring dalam operasi tangkap tangan sepulang dari kunjungan kerja ke AS. Pada saat lawatan di AS itulah diduga Edhy dan istrinya membelanjakan uang senilai Rp750 juta yang berasal dari dugaan gratifikasi.
“Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening salah satu bank atas nama AF (staf istri menteri Edhy). Transfer sebesar Rp3,4 miliar untuk keperluan Edhy Prabowo dan istrinya. Serta SAF dan APM [keduanya staf khusus Menteri Edhy],” kata Nawawi dalam keterangan pers lewat youtube KPK RI Kamis (26/11/2020) dini hari.
Uang itu lalu digunakan untuk belanja barang mewah di Honolulu AS pada tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020. Sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, baju Old Navy, tas Tumi dan LV. Barang-barang itu lalu diperlihatkan KPK.
Sejumlah tim dibentuk KPK, kemudian mereka melakukan operasi tangkap tangan pada Rabu (25/11/2020) sekitar pkl 00.30. Operasi di sejumlah lokasi yakni Bandara Soekarno Hatta, Depok, Tangerang Selatan, dan Bekasi.
Total ada 17 orang yang diamankan dan diperiksa KPK, termasuk Menteri KKP Edhy Prabowo dan istrinya. Serta dua orang dirjen di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sejumlah staf khusus Menteri Edhy, staf istri menteri Edhy, dan pengusaha.
Dari ketujuh belas orang itu, KPK akhirnya menetapkan tujuh orang tersangka dan dua orang di antaranya diminta menyerahkan diri.
Ketujuh tersangka itu adalah pertama Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan. Kedua, Inisial APM (Staf Khusus Menteri KKP/Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster). Ketiga, SAF (Staf Khusus Menteri KKP/Wakil Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster). Keempat, SWD (pengurus PT ACK). Kelima, AF – staf istri Edhy Prabowo. Keenam, AM (pengurus PT ACK). Ketujuh, SJT (Direktur PT DPPP (perusahaan eksportir benur)
Usai mengikuti jumpa pers, Edhy Prabowo mengatakan pada wartawan, “Ini adalah kecelakaan, Saya akan bertanggung jawab dunia akhirat. Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat perikanan yang mungkin banyak terkhianati.”
“Saya juga minta maaf kepada keluarga besar partai saya [Gerindra] dan saya akan mengundurkan diri sebagai wakil ketua umum partai. Saya juga akan minta untuk tidak lagi jadi menteri, dan saya kira prosesnya sudah berlangsung. Saya akan hadapi ini dengan jiwa besar,” kata Edhy sambil berjalan keluar gedung KPK untuk ditahan di rutan KPK cabang Gedung Merah Putih.
Asal Kasus
Kasus ini bermula dari diterbitkannya surat keputusan oleh Menteri Edhy Prabowo tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Tim ini bertugas untuk memeriksa kelengkapan dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon eksportir benih lobster atau benur.
Edhy menunjuk staf khususnya: APM dan SAF sebagai ketua dan wakil ketua tim uji tuntas tersebut.
“Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2020, SJT selaku Direktur PT DPPP datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan SAF. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800/ekor,” jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sekitar Rp731 juta.
Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening dua orang pemegang PT ACK masing-masing dengan total Rp9,8 miliar.
“Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening salah satu bank atas nama AF (staf istri Menteri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Menteri Edhy dan istrinya, serta ketua dan wakil ketua tim uji tuntas (SAF dan APM),” kata Wakil Ketua KPK Nawawi.
“Pada sekitar bulan Mei 2020, Menteri Edhy diduga juga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari SJT melalui pengurus PT ACK,” tambahnya.
KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020,” jelas Nawawi.
Pada Mei lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mencabut aturan larangan ekspor benih lobster yang sempat dibuat oleh Menteri KKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Pencabutan itu diatur melalui Peraturan Menteri (Permen) No 12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah RI.
Dua bulan kemudian, majalah Tempo merilis laporan yang menyebutkan bahwa KKP telah memberikan izin kepada 30 perusahaan untuk melakukan ekspor benur.
Tempo juga menyebut bahwa sejumlah kader partai diduga berada di belakang perusahaan-perusahaan ini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklarifikasi laporan majalah Tempo tersebut dengan mengatakan penerbitan izin dilakukan oleh tim yang dibentuk kementerian sesuai dengan kriteria dan mekanisme yang disusun yang tertuang dalam Juknis (petunjuk teknis).