Samarinda – Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan, menyampaikan refleksi mendalam menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam pesannya, ia menyinggung jejak sejarah perjuangan bangsa, pengorbanan para pendiri negara, serta tantangan yang masih dihadapi Indonesia di masa kini.
Agusriansyah, yang juga Sekretaris Fraksi PKS DPRD Kaltim sekaligus Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), menegaskan bahwa kemerdekaan tidak hadir begitu saja, melainkan melalui pengorbanan luar biasa.
“Darah begitu banyak tumpah agar bangsa ini bisa berdiri tegak dan berdaulat. Itu semua dilakukan supaya tumpah darah Indonesia tidak lagi tertumpah akibat penindasan dan kekejian sebagaimana yang dilakukan para penjajah di masa lalu,” ucapnya.
Dari Penjajahan ke Kebangkitan
Menurut Agusriansyah, sejarah Nusantara sarat dengan kisah perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Bangsa Indonesia, katanya, pernah merasakan pahitnya perbudakan, pembodohan, dan perampasan hak-hak dasar masyarakat oleh kekuatan asing seperti Inggris, Portugis, Belanda, hingga Jepang.
Namun dari tekanan itu, lahir kesadaran bersama. Ia mengingatkan bahwa semangat persatuan mulai terasa sejak berdirinya organisasi modern pada 1908, meskipun saat itu terbatas di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Kesadaran kolektif itu terus menguat hingga puncaknya pada 1928, ketika para pemuda dari berbagai daerah mengikrarkan Sumpah Pemuda.
“Tiga ikrar – satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air – menjadi pondasi penting menuju kemerdekaan. Inilah tonggak sejarah yang tidak boleh dilupakan generasi sekarang,” tegas legislator daerah pemilihan Kutim, Bontang, dan Berau itu.
Proklamasi dan Konsensus 1945
Lebih lanjut, Agusriansyah menuturkan bahwa perjalanan menuju proklamasi 1945 melalui jalan panjang. Dari bulan Mei hingga Agustus 1945, bangsa Indonesia melewati sejumlah kongres dan perdebatan intens sebelum akhirnya lahir konsensus bersama.
“Melalui deklarasi dan pengakuan baik de jure maupun de facto, akhirnya Indonesia menjadi salah satu bangsa yang diakui di dunia,” ujarnya.
Namun, ia juga menegaskan bahwa sejak awal berdirinya negara, tantangan tak pernah reda. Ego sektoral, konflik kepentingan, hingga infiltrasi asing kerap memunculkan gejolak di tubuh bangsa.
Luka Perpecahan dan Ancaman Geopolitik
Agusriansyah mengingatkan bahwa sejarah Indonesia sarat dengan dinamika perpecahan. Perubahan konstitusi, perang saudara, hingga konflik kepentingan elit politik dan pemilik modal kerap menjadi pemicu instabilitas.
“Perang saudara sesama anak bangsa sangat mudah disulut oleh kepentingan elit politik. Bahkan kepentingan geopolitik dan geo-strategi negara lain sangat kuat mengatur arah kebijakan Indonesia,” tuturnya.
Baginya, inilah pelajaran yang seharusnya membuat bangsa lebih waspada. Kemerdekaan tidak cukup dipertahankan lewat upacara seremonial, tetapi harus dihidupi dalam kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Penjajahan Gaya Baru di Era Modern
Memasuki tahun 2025, ketika Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan, Agusriansyah menilai tantangan bangsa semakin kompleks. Ironisnya, praktik penindasan kini tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam negeri.
“Kalau dulu penjajahan dilakukan bangsa lain, kini lebih memprihatinkan karena dilakukan oleh mereka yang mengaku warga bangsa sendiri,” ujarnya.
Ia menyoroti praktik penggadaian sumber daya alam (SDA) kepada pihak asing, lemahnya pemahaman sebagian sumber daya manusia terhadap Pancasila dan UUD 1945, hingga kebijakan negara yang cenderung mengadopsi ideologi luar.
Menurutnya, fenomena itu menunjukkan penjajahan dalam bentuk baru: penguasaan ekonomi, budaya, dan pemikiran.
Kritik atas Realitas Kebijakan
Tema resmi HUT RI ke-80 tahun ini adalah “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”. Agusriansyah mengingatkan bahwa tema tersebut harus diimplementasikan, bukan sekadar slogan.
“Slogan itu hanya akan menjadi pemanis kata belaka jika realitas kebijakan yang diambil selalu tidak berkeadilan dan tidak berperikemanusiaan,” katanya.
Ia menegaskan, pembukaan UUD 1945 jelas menuliskan tujuan negara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Harapan di Usia 80 Tahun Kemerdekaan
Agusriansyah menyampaikan harapannya agar peringatan HUT RI ke-80 menjadi momentum koreksi diri bagi seluruh elemen bangsa. Menurutnya, komitmen terhadap persatuan dan kedaulatan harus diterjemahkan dalam kebijakan nyata.
“Harapan terbesar kita semua di HUT RI ke-80 ini adalah adanya komitmen sungguh-sungguh dalam aturan dan kebijakan negara. Kebijakan yang tidak memecah belah, tidak menggadaikan kedaulatan bangsa, dan tidak menindas rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahaya pragmatisme politik yang sering menjadikan rakyat sebagai korban adu domba demi kepentingan transaksional.
Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
Menutup refleksinya, Agusriansyah mengutip sebuah doa: “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” yang berarti negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun.
“Semoga Indonesia menjadi negeri yang makmur, diberkahi, dan rakyatnya senantiasa mendapatkan ampunan dari Allah SWT,” pungkasnya.
