Seru sekali pilkada 2024 ini. Intervensi kekuasaan sangat nyata dan tak terlawan. Entah apa sebab yang sebenarnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mencabut usungannya untuk Prof Ridha Dharmajaya yang mencalonkan diri dalam pemilihan walikota Medan.
Prof Ridha mengatakan bahwa dia sempat hampa harapan untuk ikut pilwakot. Dida tidak bisa maju hanya dengan usungan PDIP. Banteng merebut sembilan (9) kursi lewat pileg 2024 baru lalu. Jadi, masih perlu tambahan satu (1) kursi untuk menggenapkan batas minum 20% dari jumlah 50 kursi DPRD Medan.
Ridha mendekati PKB yang punya dua (2) kursi. Dan kedua kursi ini sangat historis bagi PKB. Sebab, sejak mengikuti pemilu 1999, baru di pemilu 2024 ini PKB punya kursi di DPRD Medan.
Setelah berunding dengan Ridha, akhirnya PKB setuju mengusung pakar bedah saraf itu. Ridha merasa aman. Dia diusung dengan 11 kursi gabungan PDIP dan PKB.
Tetapi, perkembangan politik yang berlangsung cepat akhir-akhir ini membuat PKB mendadak meninggalkan Ridha. Tidak ada gejala yang terlihat. Tanpa symptom sama sekali. Cuma bisa diduga bahwa percaturan tingkat nasional diperkirakan berpengaruh ke level derah termasuk Medan.
“PKB lari, Bang,” ujar Ridha dalam percakapan telefon dari Jakarta. Beliau mengucapkan ini dalam nada yang tidak suram maupun muram. “Tapi ada hikmahnya,” ujar guru besar termuda semasa dia dikukuhkan pada 22 Oktober 2019.
Menurut Ridha, setelah PKB lari dari koalisi dengan PDIP beberapa hari kemudian muncullah peristiwa MK mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XII/2024 berupa pengabulan gugatan terhadap pasal 40 ayat 1 dan ayat 3 UU nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal ini mengatur batas minimum perolehan suara atau jumlah kursi DPRD provinsi dan kabupaten-kota untuk mengusung calon kepala daerah (cakada).
Putusan nomor 60 mengubah persentase perolehan suara parpol atau gabungan parpol yang boleh mengusung cakada. MK menerbitkan “landmark ruling” (putusan penting atau putusan yang mengubah cara penafsiran hukum) yang menguntungkan semua parpol baik yang punya kursi di DPRD maupun yang tidak punya.
Berdasarkan putusan itu, parpol atau gabungan parpol hanya perlu suara sah sebesar 7.5% dari total suara di kabupaten-kota yang pemilih tetapnya di atas 1,000,000 jiwa. Persentase otomatis lebih besar kalau jumlah pemilih tetapnya lebih rendah. Sebaliknya persentase lebih rendah jika jumlah pemilih tetap lebih tinggi.
Prof Ridha mengatakan dia diuntungkan oleh putusan MK yang dikatakan mau diabaikan oleh DPRRI. Bagi Ridha, PKB yang melarikan diri tanpa penjelasan itu tidak lagi membuatnya pilu. Sebab, PDIP yang pertama mengusung dirinya meperoleh suara sah di Medan sebesar 204,228 atau 14.01%. Jauh di atas 7.5% yang diwajibkan lewat perubahan pasal 40 oleh MK. PDIP bisa sendirian mengusung Ridha. Akhirnya jalan Pak Dokter menjadi mulus.
Artinya, kalau putusan MK itu tidak diutak-atik oleh DPRRI –-dan memang harus diterima oleh semua pihak dan mengikat— maka perjalanan Ridha menuju pendaftaran ke KPU kelak tidak bermasalah meskipun tanpa PKB.
Ini kabar baiknya. Kabar tak sedapnya adalah bahwa jumlah paslon yang didaftarkan ke KPUD Medan nantinya bisa banyak. Sebab, ada kemungkinan parpol-parpol yang tak berkursi di DPRD berkoalisi sampai mencapai 7.5% dan mengajukan calon walikota. Kalau ini yangn terjadi, maka kompetisi pilwakot Medan akan menjadi ramai.
Namun, belum tentu juga begitu. Sebab, ikut pilkada bukan sekadar bisa mendaftar ke KPU. Tapi akan diikuti oleh keperluan logistik untuk sosialisasi, promosi, dan kampanye.
InsyaAllah, Prof Ridha Dahrmajaya diperkirakan jauh lebih mulus jalannya dibanding para bakal calon lain. Popularitas dan elektabilitasnya cukup tinggi. Dia sudah sejak lama melakukan kerja-kerja sosial di grass-root (akar rumput) kota Medan. Bakti sosial inilah yang ingin dilakukan Ridha dalam bentuk, skala dan variasi yang lebih besar melalui kewenangannya sebagai walikota, kelak.
22 Agustus 2024
(Jurnalis Senior Freedom News)