Riak sejarah di tepian Sungai Mahakam tak pernah benar-benar padam. Di balik airnya yang tenang, tersimpan kisah panjang dua dinasti besar yang pernah menguasai Kalimantan Timur: Kutai Martapura dan Kutai Kartanegara. Dua nama ini tidak hanya melambangkan kejayaan masa silam, tetapi juga menjadi panggung bagi lahirnya era baru — ketika Islam perlahan menembus istana dan mengubah wajah peradaban Borneo.
Dua Dinasti, Dua Dunia
Kutai Martapura, yang berdiri di Muara Kaman sekitar abad ke-4 Masehi, dikenal sebagai kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Dari tujuh prasasti Yupa bertuliskan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta, para arkeolog menemukan jejak kerajaan Mulawarman yang makmur dan berakar kuat pada tradisi India Selatan.
Selama berabad-abad, Kutai Martapura menjadi pusat spiritual dan politik di pedalaman Mahakam. Namun, di hilir sungai, kekuatan baru mulai muncul sekitar abad ke-13. Sebuah kerajaan muda berdiri di pesisir: Kutai Kartanegara, yang dipimpin oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti. Ia menjalin hubungan dengan Majapahit, Champa, hingga Brunei, membawa Kutai ke era perdagangan internasional.
Perbedaan orientasi dua kerajaan itu menciptakan ketegangan yang halus. Martapura berakar pada tradisi daratan dan Hindu, sementara Kartanegara bertumpu pada maritim dan perdagangan lintas bangsa. Di balik rivalitas itu, benih perubahan besar sedang tumbuh — masuknya pengaruh Islam dari pedagang dan mubalig Nusantara.
Dari Persaingan ke Pertarungan
Menurut catatan sejarah yang dikutip akademisi IAIN Samarinda, Samsir, dalam jurnal Ri’ayah (2018), konflik terbuka antara dua Kutai terjadi pada awal abad ke-17, saat kekuasaan Kutai Kartanegara berada di bawah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura.
Raja muda ini dikenal cerdas dan berani. Ia menilai bahwa kejayaan Kutai hanya bisa diraih jika Mahakam bersatu dari hulu ke hilir. Dengan dukungan pasukan dari pesisir, Panji Mendapa memimpin ekspedisi militer besar ke Muara Kaman, pusat kekuasaan Kutai Martapura yang dipimpin Maharaja Dharma Setia.
Pertempuran di Muara Kaman disebut sebagai “Perang Dua Dinasti”, peristiwa bersejarah yang menandai berakhirnya Kutai Martapura sebagai kerajaan Hindu. Panji Mendapa menang, tetapi kemenangan itu tidak disertai pembumihangusan. Sebaliknya, ia mengajak para bangsawan Martapura untuk bergabung dalam pemerintahan baru di Kutai Kartanegara.
“Langkah Panji Mendapa menunjukkan kebijaksanaan politik yang jarang dimiliki raja muda. Ia memilih penyatuan daripada penghancuran,” tulis Samsir.
Keputusan itu menjadi titik balik besar. Kutai Kartanegara kemudian menambahkan gelar kehormatan baru di belakang namanya: Ing Martadipura — tanda penghormatan terhadap kerajaan tua yang telah disatukan.
Datangnya Cahaya Islam
Tak lama setelah penyatuan itu, pengaruh Islam semakin kuat. Gelombang dakwah datang dari Sulawesi Selatan setelah kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam sekitar tahun 1605. Dua tokoh penting, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Ribandang, menyeberangi Selat Makassar menuju Kutai Lama.
Di sana, mereka diterima oleh Aji Raja Mahkota, penerus Panji Mendapa. Melalui pendekatan lembut dan penuh hikmah, Tuan Tunggang Parangan berdakwah langsung kepada sang raja, menjelaskan makna tauhid dan ajaran Islam yang menekankan keadilan serta kebijaksanaan.
Raja Mahkota kemudian memeluk Islam secara sukarela dan bergelar Aji Raja Mahkota Mulia Islam pada sekitar tahun 1607 Masehi. Dari titik inilah, Islam menjadi bagian resmi dari istana Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pendekatan dakwahnya berbeda dari perang; ia berjalan melalui dialog budaya dan keteladanan moral. Dari istana, ajaran Islam menyebar ke rakyat — ke pelabuhan, pasar, dan ladang.
Islamisasi yang Lembut
Masuknya Islam tidak serta-merta menghapus adat lama. Upacara adat dan simbol Hindu-Kutai diberi makna baru. Misalnya, Lembuswana, lambang kerajaan yang berkepala naga dan bertubuh gajah, tetap dipertahankan sebagai simbol kekuasaan — kini dimaknai sebagai perlambang kekuatan yang tunduk kepada kehendak Allah.
Masjid pertama dibangun di Kutai Lama (Anggana) sebagai pusat pengajaran agama. Di sinilah Tuan Tunggang Parangan mengajarkan dasar-dasar tauhid, salat, dan akhlak kepada masyarakat. Dari langgar sederhana itu, lahirlah ulama lokal yang meneruskan dakwah ke wilayah seperti Sangkulirang, Loa Bakung, hingga Samarinda Seberang.
Sementara itu, pernikahan antara mubalig dan keluarga bangsawan memperkuat hubungan sosial. Islam diterima bukan sebagai kekuatan asing, tetapi sebagai nilai yang hidup dalam adat dan keseharian rakyat Kutai.
Warisan Dua Dunia
Penyatuan Kutai Martapura dan Kutai Kartanegara melahirkan kerajaan Islam yang berakar kuat pada budaya lokal. Bentuk pemerintahannya pun berubah — dari kerajaan menjadi kesultanan, dipimpin oleh Aji Raja Mahkota Mulia Islam sebagai sultan pertama.
Perubahan ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga sosial dan politik. Struktur hukum, tata kelola pemerintahan, hingga sistem pendidikan mulai berlandaskan nilai Islam. Namun, identitas lokal tetap dijaga, menjadikan Kutai sebagai contoh harmonisasi antara agama dan budaya.
Jejaknya di Masa Kini
Kini, sisa-sisa kejayaan dua dinasti itu masih terasa. Di Muara Kaman, prasasti Yupa berdiri sebagai penanda lahirnya sejarah Nusantara. Sementara di Kutai Lama dan Tenggarong, makam Tuan Tunggang Parangan, Masjid Jami Hasanuddin, dan Museum Mulawarman menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban.
Setiap tahun, masyarakat Kutai masih menggelar Haul Tuan Tunggang Parangan sebagai bentuk penghormatan. Upacara ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga momen untuk mengingat akar sejarah yang mempertemukan adat dan iman.
Dari pertemuan dua dinasti, lahir peradaban baru yang memadukan nilai Hindu, budaya Dayak-Melayu, dan ajaran Islam. Kutai Kartanegara menjadi cermin bagaimana perubahan besar bisa lahir dari kelembutan, bukan dari peperangan.
Seperti air Mahakam yang mengalir tanpa henti, kisah dua Kutai terus membawa pesan: bahwa kedamaian, bila dijaga dengan hikmah, akan selalu melahirkan peradaban yang abadi.
