Ketika prinsip kebebasan beragama justru membebani mayoritas, keadilan sosial menjadi hal yang dipertaruhkan.
Kebebasan beragama adalah landasan penting dalam kehidupan bernegara. Namun, bagaimana jika prinsip ini disalahartikan sehingga justru merugikan kelompok mayoritas? Pernyataan Menteri Agama Nazaruddin Umar mengenai minimnya masjid di kawasan elite Pantai Indah Kapuk (PIK) menggambarkan dilema ini. Di satu sisi, ia menyoroti minimnya fasilitas ibadah bagi umat Islam di kawasan mayoritas non-Muslim. Di sisi lain, kritik yang muncul menuduhnya tidak netral dan terlalu berpihak pada kelompok mayoritas.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah prinsip toleransi dan kebebasan beragama telah diterapkan secara adil di Indonesia? Atau, apakah kebijakan terkait agama justru menjadi alasan untuk menekan kebutuhan umat Islam atas nama keberagaman?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masjid memang ada di kawasan PIK, seperti Masjid Al-Hikmah di Taman Wisata Alam Mangrove dan Masjid Al-Muhajirin di Gedung Agung Sedayu Grup. Namun, letaknya yang tersembunyi dan minimnya akses membuat umat Muslim kesulitan untuk beribadah. Dibandingkan dengan rumah ibadah agama lain yang berdiri megah di area strategis, kehadiran masjid di kawasan ini terasa kurang signifikan.
Penting untuk dicatat bahwa kawasan PIK mayoritas dihuni oleh non-Muslim. Pengamat properti menjelaskan bahwa pertimbangan nilai komersial sering kali menjadi alasan minimnya pembangunan masjid. Namun, di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia, wajar jika umat Islam berharap mendapatkan akses yang lebih baik terhadap tempat ibadah, terutama di kawasan yang terus berkembang pesat seperti PIK.
Ironisnya, ketika suara ini disampaikan, muncul tuduhan bahwa memperjuangkan kebutuhan umat Islam berarti mengistimewakan mayoritas. Padahal, kebebasan beragama seharusnya tidak berarti mengorbankan hak mayoritas dengan dalih menjaga keberagaman. Prinsip ini harus berlaku dua arah: memberikan ruang bagi minoritas tanpa mengabaikan kebutuhan mayoritas.
Lebih jauh, data menunjukkan bahwa umat Islam juga menghadapi tantangan dalam memenuhi hak-hak ibadah mereka. Sebagai contoh, Lembaga Survei Indonesia pada 2023 mencatat 42 persen masyarakat Muslim merasa akses terhadap masjid di kawasan perkotaan semakin sulit. Sebaliknya, isu yang sama sering kali lebih disorot ketika menyangkut rumah ibadah agama lain, seperti gereja atau vihara.
Tantangan ini mencerminkan ketimpangan dalam implementasi prinsip kebebasan beragama. Dalam beberapa kasus, seperti pembubaran ibadah Gereja Tesalonika di Tangerang, ada kecenderungan bahwa hak minoritas agama tidak selalu dihormati. Namun, hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan kebutuhan mayoritas umat Muslim.
Untuk memastikan keadilan, pemerintah harus bersikap proaktif dalam memfasilitasi kebutuhan semua kelompok agama. Pembangunan rumah ibadah harus didasarkan pada asas proporsionalitas dan kebutuhan, bukan hanya persepsi politik atau ekonomi. Kawasan PIK, misalnya, membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif dengan menyediakan ruang yang setara bagi semua agama.
Selain itu, tokoh agama dan masyarakat perlu berperan dalam membangun dialog yang sehat. Kebebasan beragama tidak berarti mendiamkan kebutuhan satu kelompok untuk mengakomodasi kelompok lain. Sebaliknya, toleransi sejati adalah tentang menciptakan ruang yang adil bagi semua pihak tanpa menimbulkan rasa terabaikan.
Dalam konteks yang lebih luas, penting juga untuk mengedukasi masyarakat tentang makna sebenarnya dari toleransi dan keberagaman. Kebebasan beragama tidak berarti menghapus identitas mayoritas atau minoritas, tetapi menghormati keduanya dalam ruang yang setara. Media, tokoh masyarakat, dan pemerintah memiliki peran penting dalam membentuk narasi ini agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Pada akhirnya, isu masjid di PIK adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar: bagaimana Indonesia bisa menyeimbangkan antara kebutuhan mayoritas dan hak minoritas dalam konteks keberagaman. Prinsip kebebasan beragama tidak boleh diterjemahkan sebagai alasan untuk mengorbankan kelompok mayoritas, melainkan sebagai pijakan untuk menciptakan harmoni sosial yang sejati.