Di tengah kegaduhan politik dan hilangnya kepercayaan pada institusi publik, gagasan-gagasan lama seringkali memberikan kejernihan baru. Aksi Massa karya Tan Malaka (1933), yang ditulis dalam pengasingan, justru terasa relevan ketika kita menilik kembali struktur kekuasaan, nasib rakyat pekerja, dan arah pembangunan Indonesia masa kini.
Tan Malaka bukan hanya pejuang kemerdekaan, melainkan juga pemikir sistematis yang menyoal akar ketimpangan. Dalam Aksi Massa, ia menyebut feodalisme, dominasi rente, serta rapuhnya basis sosial sebagai sebab utama perubahan politik yang mudah runtuh. Gagasannya tentang “aksi massa” bukan sekadar seruan revolusi jalanan, tetapi ajakan untuk membangun struktur institusi dari bawah—serikat buruh, koperasi, dan organisasi rakyat—yang mampu mendesakkan arah baru pembangunan.
Kini, hampir seabad setelah tulisannya beredar, Indonesia menghadapi problem yang tidak jauh berbeda, meskipun dengan nama baru. Feodalisme berubah menjadi oligarki. Rente berganti nama menjadi perizinan dan konsesi. Dan rakyat, yang seharusnya menjadi subjek pembangunan, kembali dikebiri menjadi objek program-program jangka pendek.
Pembangunan yang diklaim sebagai lompatan besar justru kerap menjadi “kemenangan seumur jagung”—istilah Tan Malaka untuk perubahan tanpa basis kelembagaan. Banyak proyek strategis nasional kehilangan arah karena tidak disertai akuntabilitas, audit terbuka, atau keterlibatan publik yang memadai. Ini bukan semata soal anggaran, melainkan masalah desain kelembagaan.
Contoh paling mencolok adalah proyek hilirisasi. Secara ide, hilirisasi komoditas adalah langkah penting untuk menambah nilai ekonomi nasional. Namun dalam praktiknya, hilirisasi lebih sering berujung pada industri perakitan tanpa riset, tanpa perlindungan pekerja, dan tanpa transfer teknologi yang memadai. Nilai tambah tetap bocor ke luar negeri, sementara pekerja lokal hanya menjadi buruh kasar dalam rantai pasok global.
Tan Malaka mungkin akan bertanya: di mana “kelas pekerja terampil” yang harusnya menjadi fondasi transformasi industri? Di mana politeknik, laboratorium material, dan skema pembelian negara yang mengutamakan produk inovasi domestik?
Kritik lain yang relevan dari Aksi Massa adalah soal sentralisasi darat dan ketidakadilan maritim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki modal historis berupa jejaring pelabuhan dan mobilitas antarpulau. Tapi dalam praktiknya, belanja infrastruktur masih terlalu fokus pada koridor besar dan jalan tol daratan. Pelabuhan kecil, armada perintis, serta logistik dingin untuk nelayan masih belum menjadi prioritas.
Biaya logistik yang tinggi bukan hanya memperlebar kesenjangan, tetapi juga menjadikan pelaku ekonomi kecil—terutama di wilayah luar Jawa—semakin tidak kompetitif. Sebuah ironi, ketika negara maritim justru dikelola dengan mentalitas kontinental.
Politik identitas, yang dulu ditolak Tan Malaka demi persatuan berbasis kepentingan material rakyat pekerja, kini kembali menjadi alat kekuasaan. Alih-alih menyatukan kelas pekerja, politik justru membelah masyarakat berdasarkan ras, agama, dan simbol-simbol kosong. Ketika perdebatan publik hanya soal “siapa” bukan “apa”, maka isu-isu penting seperti upah layak, transportasi publik, atau subsidi pangan tak pernah dibahas secara substansi.
Di sinilah Aksi Massa menjadi penting kembali dibaca. Tan Malaka menuntut bukan hanya semangat perubahan, tetapi juga disiplin institusi. Organisasi rakyat, sistem hukum yang transparan, serta desain kebijakan fiskal yang berpihak kepada produktivitas adalah prasyarat bagi perubahan yang tahan lama.
Jika Indonesia ingin lepas dari jebakan “umur jagung”, maka setiap kebijakan harus lolos tiga ujian sederhana: apakah nilai tambah tinggal di dalam negeri? Apakah menciptakan pekerjaan bermutu? Apakah kebijakan itu fiskal-lingkungan tahan banting?
Lima saran dari Tan Malaka, jika diterjemahkan dalam konteks hari ini, akan berbunyi seperti ini:
Pertama, reformasi hukum dan fiskal anti-rente. Ini mencakup open contracting, audit sumber daya, dan pembatasan konflik kepentingan dalam proyek publik.
Kedua, pembangunan maritim yang membumi. Artinya, dermaga kecil, cold storage, dan subsidi logistik harus menyasar pelaku usaha kecil dan daerah tertinggal.
Ketiga, hilirisasi berbasis ilmu. Pemerintah harus berinvestasi pada politeknik, laboratorium, dan ekosistem riset yang terhubung dengan industri lokal.
Keempat, serikat dan koperasi modern. Negara perlu memfasilitasi kanal kolektif rakyat yang bukan hanya legal, tetapi juga produktif secara ekonomi.
Kelima, transparansi sebagai infrastruktur politik. Tanpa data terbuka dan partisipasi publik, pembangunan hanya akan jadi proyek elitis yang terputus dari kebutuhan rakyat.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Tapi yang sering hilang adalah niat untuk membangun institusi yang adil dan tahan lama. Aksi Massa mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang tak ditopang oleh rakyat terorganisir hanya akan jadi ilusi. Dan bahwa perubahan sejati bukan hasil pidato atau proyek mercusuar, tetapi kerja sunyi membangun struktur sosial, ekonomi, dan hukum yang berpihak pada mayoritas.
Sumber: Tan Malaka, Aksi Massa, 1933 (diterbitkan online oleh WordPress, 2013)
