Pada Jumat (30/8/2024), Bakal Calon Bupati Jombang, Warsubi, kembali melakukan aksi bagi-bagi sembako kepada ribuan tukang becak di Desa Mojokrapak. Dengan isi paket berupa lima kilogram beras, Warsubi yang juga merupakan seorang pengusaha dari desa yang sama, berhasil menarik perhatian banyak orang. Ribuan tukang becak pun rela mengantri panjang untuk mendapatkan bantuan tersebut. Namun, di balik aksi ini, ada satu pertanyaan yang perlu kita renungkan: Apakah ini bentuk kepedulian atau sekadar pencitraan politik?
Fenomena bagi-bagi sembako, yang sering dilakukan oleh calon kepala daerah menjelang pemilihan, bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, apakah kita sadar akan dampak jangka panjang dari tindakan seperti ini? Bantuan sosial (Bansos) yang dibagikan secara cuma-cuma, meskipun tampaknya penuh kebaikan, sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya di Jombang.
Pertama, kita harus sadar bahwa politik Bansos seperti ini berpotensi menciptakan mental pengemis di kalangan masyarakat. Ketika bantuan datang secara rutin tanpa disertai dengan upaya untuk memandirikan masyarakat, mereka cenderung menjadi pasif dan bergantung pada pemberian. Dampak ini sangat berbahaya bagi etos kerja masyarakat Jombang, yang seharusnya dibangun di atas semangat kerja keras dan kemandirian.
Selain itu, Bansos yang terus menerus dibagikan tanpa strategi jangka panjang akan merusak budaya malu dan rasa tanggung jawab sosial. Masyarakat mungkin akan berpikir bahwa mereka tidak perlu bekerja lebih keras atau berinovasi, karena selalu ada bantuan yang bisa diharapkan. Padahal, budaya malu dan tanggung jawab adalah pondasi penting dalam membangun karakter bangsa yang kuat dan mandiri.
Lebih jauh lagi, jika praktik ini terus dilanjutkan, kita akan merusak generasi emas 2045 yang seharusnya menjadi harapan bangsa. Generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan yang mengandalkan bantuan semacam ini cenderung kehilangan motivasi untuk bekerja keras dan berinovasi. Mereka akan terbiasa dengan cara instan dan tidak berusaha mengembangkan keterampilan serta pengetahuan yang diperlukan untuk bersaing di era globalisasi.
Pak Warsubi, jika Anda benar-benar memiliki niat baik dan sumber daya yang cukup, mari berpikir lebih jauh dan strategis. Bantuan sembako memang bisa membantu sesaat, tetapi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan dalam jangka panjang. Mengapa tidak mengarahkan dana dan sumber daya yang ada untuk menciptakan program pemberdayaan yang lebih berkelanjutan?
Misalnya, alih-alih memberikan sembako, mengapa tidak menyediakan lahan pertanian atau alat pertanian modern bagi masyarakat? Berikan mereka ternak atau peralatan peternakan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara mandiri. Atau, bentuklah program ekonomi kerakyatan di setiap RT, dengan memberikan pendampingan dan motivasi untuk berwirausaha.
Doronglah anak muda Jombang untuk menjadi kreatif dan inovatif, bukan hanya bergantung pada bantuan. Ajarkan mereka keterampilan baru, berikan pelatihan kewirausahaan, dan bantu mereka untuk membangun usaha sendiri. Dengan cara ini, kita tidak hanya memberikan bantuan sementara, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengubah nasib dan masa depan mereka sendiri.
Pak Warsubi, saatnya berhenti menggunakan politik Bansos sebagai alat pencitraan. Mari kita bersama-sama membangun Jombang yang lebih mandiri dan sejahtera dengan cara yang lebih bermartabat dan berkelanjutan. Jangan sia-siakan potensi besar yang dimiliki oleh masyarakat Jombang hanya demi pencitraan politik sesaat. Mari berpikir jauh ke depan dan berikan yang terbaik untuk masa depan Jombang dan generasi emas 2045.