Bontang – Dewi Setia Lestari (33) juragan terasi di kawasan Bontang Kuala memulai merintis usahanya sejak 2014. Tak ada yang menyangka bahwa usaha kecil-kecilan yang dijalani selama tujuh tahun itu bakal berkembang pesat dan menghasilkan omzet yang tinggi.
Dengan modal awal Rp 200 ribu wanita yang dulunya menjadi suporter salah satu klub sepak bola di Kota Taman mulai menggeluti usaha terasi sejak dirinya masih remaja.
“Udah lama. Itu saya masih sendiri (remaja) tapi itu repacking saya produksi yang bubuk dan itu bareng sama ibu saya di tahun 2014, setelah menikah saya bikin usaha sendiri di tahun 2017,” ungkapnya ditemui wartawan di tempat produksi pembuatan terasi di Bontang Kuala, Minggu (3/10/2021).
Ketika awal memulai usahanya wanita yang sudah memiliki satu buah hati itu mengaku mengalami rintangan, sebab bau busuk udang yang menjadi bahan baku membuatnya harus berpindah rumah.
“Waktu itu saya tinggal di jalan tembus Kelurahan Belimbing jadi setiap produksi pasti diteriakin Mba Dewi jemur terasi lagi? tidak enak gitu kan. Akhirnya sama mertua disuruh pindah di Bontang Kuala milik mertua dan prasarana dan sarana masih miliknya hingga saat ini,” jelasnya.
Kemudian di 2019, usahanya pun semakin berkembang. Dirinya pun mulai memperkerjakan dua karyawan meskipun tidak terikat hanya ketika sedang memproduksi terasi yang cukup banyak.
Berawal hanya memproduksi terasi koin dan bubuk dalam bentuk kemasan plastik, Dewi pun mulai mengembangkan dan mempercantik dengan menggunakan botol plastik dan kemasan dengan merek jaya lestari dan kemudian dikembangkan lagi dengan merk Om Baen.
Ia menambahkan produksi terasi miliknya sama sepeti produksi terasi lainnya dimana menggunakan bahan baku yakni udang papai, garam dan air.
“Udang itu ngambil di Gusung Kadang di Muara Badak, kalau sekarang agak susah nyari udang papainya,” terangnya.
Sebelum pandemi Covid-19 produksi terasi milik Dewi cukup tinggi, pesanan terasi bisa mencapai 300 botol terasi dan penjualan pernah menembus sebanyak Rp 3-4 juta.
Harga per botol terasi dan kemasan dihargai dengan Rp 12 ribu.
Lebih jauh Dewi mengatakan selama pandemi Covid-19, produksi dan penghasilannya mengalami penurunan drastis. Untuk tetap menjalankan usahanya dirinya melakukan penjualan di rumah makan gammi di Bontang.()