Jakarta – “Pondok pesantren kan dibikin dari santri untuk santri, jadi nggak bisa bilang (anak) di bawah umur dilibatkan segala macam,” ucap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dody Hanggodo, saat meninjau lokasi Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur.
Pernyataan itu disampaikan saat muncul dugaan bahwa para santri dilibatkan dalam proses pengecoran bangunan yang kemudian ambruk dan menewaskan belasan orang. Dody menyebut bahwa ia belum bisa memberikan pernyataan mendalam karena fokus utama saat ini adalah penyelesaian operasi pencarian dan penyelamatan korban.
“Aku belum berani lebih jauh,” katanya kepada wartawan, mengindikasikan bahwa klarifikasi teknis dan investigasi mendalam masih menunggu hasil penyelidikan.
Sebelumnya, beredar video yang menunjukkan santri sedang membantu proses pengecoran lantai atas gedung pesantren. Fenomena ini memicu perdebatan tentang batas aman gotong royong di lingkungan pendidikan berbasis agama.
Sementara itu, Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa pembangunan gedung bertingkat harus dilakukan oleh tenaga profesional, bukan oleh santri. Ia menyebut gotong royong wajar dilakukan dalam bentuk kegiatan ringan seperti membersihkan halaman, namun tidak bisa diterapkan untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko tinggi.
“Kalau bangunan bertingkat harus profesional,” ujar Nasaruddin dalam pernyataannya, seraya menegaskan pentingnya keselamatan dan standar teknis dalam setiap pembangunan.
Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa hanya sekitar 50 dari lebih dari 42 ribu pesantren di Indonesia yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dokumen legal pengganti IMB. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan administratif terhadap infrastruktur pesantren di Tanah Air.
Dody menyatakan bahwa evaluasi menyeluruh terhadap kondisi fisik bangunan pesantren akan dilakukan setelah proses pencarian korban selesai. Pemerintah akan menggandeng Kementerian Agama dan pemerintah daerah dalam proses tersebut.
Pernyataan Menteri PU tentang “tradisi dari santri untuk santri” pun menuai kritik dari sejumlah pihak. Mereka menilai bahwa semangat gotong royong tidak boleh mengabaikan aspek keselamatan dan perlindungan terhadap anak di bawah umur. Tradisi seharusnya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan regulasi keselamatan bangunan.
Dengan adanya tragedi ambruknya bangunan ponpes Al Khoziny, polemik soal batasan gotong royong di pesantren semakin mengemuka. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa nilai-nilai tradisional tetap perlu beriringan dengan profesionalisme dan keselamatan.
