Di tengah gelombang pejabat glamor, hadir satu sosok yang tampil tanpa sorotan berlebihan, namun memberi pesan kuat lewat kesederhanaannya: Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI. Ia mengendarai Toyota Innova Venturer keluaran 2019. Dengan pelat RI 25, mobil itu tetap sederhana, terparkir tenang di antara deretan mobil mentereng saat kunjungan ke kantor Gubernur Kaltim, Sabtu (14/6/2025).
Sosok Mu’ti tampil membumi sejak turun dari kendaraan. Ia menyalami satu per satu peserta acara di Lamin Etam. Ia tampak nyaman berbincang dengan siapa pun yang ditemuinya, seolah tak membawa beban jabatan tinggi yang melekat.
Kesederhanaan ini juga tercermin dari pilihan transportasi yang digunakan saat dinas luar kota.
“Alhamdulillah lebih simpel dan fleksibel. Saya juga naik kendaraan umum seperti naik MRT ke kantor,” katanya saat diwawancarai usai menghadiri acara Milad Muhammadiyah ke-116 dan ‘Aisyiyah ke-108 di Samarinda.
“Ada anggaran untuk sewa mobil yang lebih mahal, tapi saya lebih nyaman dengan ini. Lebih nyaman dan lebih hemat,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa sebagai pejabat negara, tidak semua fasilitas harus digunakan secara maksimal, apalagi jika tidak mendesak.
Sikap tersebut tidak terlepas dari latar belakang kehidupan Mu’ti. Lahir di Kudus pada 2 September 1968, ia tumbuh dalam lingkungan pesantren dan organisasi keagamaan. Sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sebelum menjabat menteri, ia telah lama dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang konsisten dalam pengabdian dan kebersahajaan. Kesederhanaannya bukan pilihan estetika belaka, melainkan cerminan nilai hidup dan spiritualitas.
Apa yang dilakukan Abdul Mu’ti sejalan dengan semangat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1980 tentang Fasilitas Pejabat Negara. Dalam regulasi itu memang disebutkan bahwa menteri berhak atas kendaraan dinas, tapi tidak ada yang mengharuskan kendaraan tersebut berharga fantastis. Maka, saat Mu’ti memilih mobil keluarga umum yang juga digunakan masyarakat kelas menengah, itu menjadi isyarat bahwa jabatan tinggi tidak harus dikonversi menjadi simbol kemewahan.
Gaya hidup hemat dan pilihan menggunakan transportasi publik juga menjadi preseden positif di tengah citra birokrasi yang sering kali diasosiasikan dengan pemborosan. Ketika banyak pejabat memilih kendaraan dinas bernilai miliaran atau bahkan mengubah plat dinas menjadi alat prestise, Mu’ti justru memberi contoh sebaliknya.
Di sisi sosial dan ekonomi, apa yang dilakukan Mu’ti memberikan pesan penting. Bahwa penghematan anggaran negara bisa dimulai dari hal sederhana: pilihan kendaraan, tempat tinggal, hingga kebiasaan makan dan berkumpul. Lebih dari sekadar simbol, gaya hidup ini mendorong narasi alternatif bahwa efektivitas kerja pejabat tidak ditentukan dari kemewahan, tapi komitmen dan kesetiaan terhadap pelayanan publik.
Pilihan naik MRT di waktu senggang juga memperlihatkan bagaimana Mu’ti tidak menciptakan jarak dengan warga. Ia merasakan langsung bagaimana menjadi pengguna transportasi umum: berdiri di kereta, antri, dan berbagi ruang dengan warga biasa. Pengalaman ini, jika dihayati secara konsisten, bisa menjadi dasar kebijakan publik yang lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Dalam suasana politik yang sering diramaikan oleh pencitraan dan keglamoran, Abdul Mu’ti justru menampilkan keautentikan. Ia tidak hanya menyampaikan nilai-nilai sederhana, tetapi menghidupinya dalam keseharian. Tanpa sorotan kamera, tanpa manuver media sosial berlebihan, ia tetap hadir memberi inspirasi melalui tindakan nyata.
Mu’ti memang bukan pejabat yang gemar bicara tinggi. Tapi justru lewat keheningan, ia menyampaikan banyak hal. Tentang bagaimana kekuasaan bisa dijalankan dengan akhlak, dan tentang bagaimana keteladanan bukan dibangun dari kemegahan, tapi dari kejujuran dalam hidup sehari-hari.