Jombang – Insiden ambruknya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, menimbulkan sorotan tajam atas kualitas konstruksi pesantren, terutama bila dibandingkan dengan pondok pesantren terkemuka lain seperti Tebuireng di Jombang. Akibatnya, publik mempertanyakan apakah perbedaan biaya masuk antara kedua pesantren bisa dibenarkan begitu jauh.
Keprihatinan ini turut disuarakan Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggoro, yang menyebut sebagian besar pondok pesantren di Indonesia belum memiliki bangunan yang memenuhi standar kelayakan. Ia menyatakan, “Harusnya ada lah, kayak misalnya (ponpes) Tebuireng. Memang ada pondok pesantren yang sangat modern dan memang bagus. Tapi kan cuma sebagian kecil. Sebagian besar kan terbelakang,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Berdasarkan informasi dari brosur resmi, biaya masuk di Ponpes Al Khoziny Buduran mencapai sekitar Rp 1,6 juta. Angka ini mencakup pendaftaran pondok sebesar Rp 400.000 dan pendaftaran madrasah diniyah Rp 250.000. Meski nominalnya tergolong cukup tinggi untuk kategori pesantren menengah, kualitas bangunannya justru menjadi sorotan setelah peristiwa runtuhnya musala.
Sementara itu, Ponpes Tebuireng di Jombang yang dijadikan contoh oleh Menteri Dody dikenal memiliki fasilitas fisik yang lebih modern dan tertata rapi. Meski tak disebutkan secara rinci berapa biaya masuknya, banyak pihak menilai kualitas bangunan dan infrastruktur Tebuireng jauh lebih unggul dibanding kebanyakan pondok pesantren lain di Indonesia.
Perbandingan ini menuai reaksi beragam. Sebagian masyarakat mempertanyakan, apakah dengan biaya masuk yang cukup besar, santri Al Khoziny memperoleh fasilitas yang aman dan layak. Insiden ambruknya musala membuka mata publik terhadap pentingnya pengawasan kualitas bangunan pondok pesantren secara menyeluruh, tanpa terkecuali.
Namun, sejumlah pengamat pendidikan pesantren mengingatkan agar perbandingan ini tidak dilakukan secara sembrono. Tebuireng dan Al Khoziny memiliki sejarah, kapasitas donatur, serta skala operasional yang berbeda. Maka, menyamaratakan ekspektasi tanpa mempertimbangkan kondisi lokal bisa menyesatkan analisis.
Meski begitu, diskursus ini diharapkan mendorong perbaikan regulasi nasional soal kelayakan bangunan pondok pesantren. Pemerintah pusat dan daerah dinilai perlu menetapkan standar minimum keamanan dan fasilitas pendidikan di lingkungan pesantren agar keselamatan santri terjamin.
Dengan mencuatnya isu ini, transparansi biaya dan kualitas bangunan menjadi dua elemen penting yang harus dibenahi bersama. Keadilan pendidikan pesantren tidak hanya soal ilmu yang diajarkan, tapi juga lingkungan yang aman untuk para santri menimba ilmu.
