Pemalang – Suara gemericik air berpadu tawa riang anak-anak menyatu dalam satu harmoni yang menghidupkan kembali memori masa kecil. Di tepi Sungai Comal, Desa Semingkir, Randudongkal, Jawa Tengah, suasana Lebaran tahun ini terasa lebih istimewa bagi Aries Luhur—atau yang akrab disapa Opa. Setelah 29 tahun tak pernah menjejakkan kaki di kampung halaman ibunya, akhirnya pria asal Driyorejo, Gresik itu bisa kembali menikmati momen mudik yang telah lama dirindukannya.
“Terakhir kali saya mudik ke sini, anak saya masih usia satu setengah tahun. Sekarang, dia sudah punya dua anak,” ujar Opa sembari menatap aliran sungai yang mengalir tenang namun menyimpan banyak kenangan.
Sungai Comal, yang terletak tak jauh dari rumah sang nenek di Semingkir, seakan menjadi saksi bisu ikatan kekeluargaan yang tak lekang oleh waktu. Airnya masih jernih, bebatuan besarnya tetap berdiri kokoh seperti dahulu, dan suasana desa yang hangat membuat Opa merasa seakan kembali ke masa kecil. Inilah obat paling manjur untuk mengobati kerinduan akan kampung halaman.
Lebaran yang Penuh Haru
Perjalanan darat lebih dari 10 jam dari Gresik bersama sang ibu, adik kandung, adik ipar, dan keponakan tak terasa melelahkan saat tiba di halaman rumah sang nenek tercinta. Nenek yang kini berusia 101 tahun menyambut dengan senyum yang tak pernah berubah, seolah menunggu momen ini selama puluhan tahun.
“Begitu turun dari mobil dan melihat senyum Mbah, semua lelah langsung hilang,” kata Opa, matanya berkaca-kaca.
Lebaran tahun ini menjadi momen spesial bagi keluarga besar Bani Tasman. Sebanyak 41 anggota keluarga berkumpul di Semingkir—datang dari berbagai penjuru; Jakarta, Kediri, Surabaya, dan Gresik. Mereka adalah anak-anak, menantu, cucu, dan cicit dari sang nenek yang menjadi pusat pemersatu keluarga. Di rumah tua yang kini terasa sempit oleh kehadiran semua anggota keluarga, justru kebahagiaan terasa begitu luas.
Mereka duduk bersila di tikar, menikmati opor ayam, lotek genjer dengan bumbu kacang, ketupat sayur, dan aneka jajanan khas Lebaran. Tawa dan cerita berbaur dengan aroma masakan, menciptakan suasana hangat yang sulit digambarkan dengan kata-kata.
Sungai Comal: Surga Kecil yang Dirindukan
Namun, di balik semua kemeriahan itu, satu hal yang paling membekas di hati Opa adalah Sungai Comal. Sungai ini bukan sekadar aliran air bagi warga Semingkir. Ia adalah tempat bermain, tempat belajar berenang, tempat berbagi cerita, dan tempat melepas penat setelah hari yang panjang.
Bagi anak-anak masa kini, sungai mungkin hanya menjadi tempat asing yang hanya bisa dilihat dari kejauhan. Namun bagi generasi Opa, Sungai Comal adalah bagian dari hidup yang tak bisa dipisahkan dari kenangan masa kecil.
“Dulu setiap pulang ke desa, saya dan saudara-saudara langsung lari ke sungai. Kita lomba renang, lompat dari batu besar, kadang nyari ikan kecil. Sekarang, saya bawa anak-anak saya ke sana, biar mereka tahu apa itu main di alam,” tutur Opa sambil tersenyum.
Pemandangan hari itu pun tak kalah mengharukan. Anak-anak dari generasi cucu dan cicit Bani Tasman bermain air bersama di Sungai Comal, dipandu oleh Opa dan saudara-saudaranya. Tawa riang terdengar sepanjang aliran sungai. Ada yang terpeleset batu, ada yang belajar berenang, ada pula yang hanya duduk-duduk sambil merendam kaki.
Sungai itu, meski telah puluhan tahun ditinggal merantau, tetap menyambut dengan kesegaran dan ketenangan yang sama. Seolah berkata: “Selamat datang kembali, anak-anak desa.”
Merajut Kembali Tali Silaturahmi
Mudik bukan sekadar tentang pulang ke rumah, tapi tentang pulang ke akar. Momen berkumpulnya keluarga besar seperti yang dilakukan oleh Bani Tasman adalah bentuk nyata dari ikhtiar menjaga silaturahmi, merawat hubungan antargenerasi, dan mewariskan nilai-nilai kekeluargaan.
Bagi keluarga besar yang sebagian besar merantau ke kota besar bahkan luar negeri, desa Semingkir adalah titik nol yang selalu dirindukan. Suasana sejuk, udara bersih, dan keramahan warga menjadi pembeda nyata dengan kesibukan dan hiruk-pikuk kota.
Di sela kegiatan makan bersama dan bermain di sungai, mereka juga menggelar doa bersama, ziarah ke makam leluhur, hingga sesi tukar cerita dan foto keluarga yang menjadi agenda wajib setiap Lebaran.
“Kami ingin anak-anak kami tetap punya kenangan dengan kampung halaman. Biar mereka tahu asal-usulnya, dan punya rasa memiliki,” ungkap salah satu anggota keluarga dari Surabaya.
Nilai yang Tak Tergantikan
Dari semua aktivitas selama mudik Lebaran di Semingkir, satu hal yang paling terasa adalah kehangatan dan kebersamaan. Hal-hal yang dulu dianggap biasa, kini menjadi luar biasa ketika telah lama ditinggalkan: suara adzan dari surau kecil di ujung jalan, aroma tanah basah di pagi hari, suara jangkrik di malam sunyi, hingga hangatnya tangan nenek saat memeluk cucu-cucunya satu per satu.
Bagi Opa dan keluarga besar Bani Tasman, Lebaran kali ini bukan sekadar perayaan keagamaan, tapi juga perayaan atas kembalinya jalinan batin dengan kampung halaman. Sungai Comal bukan hanya tempat bermain air, tapi juga tempat membasuh rindu yang menumpuk selama puluhan tahun.
“Kampung ini mungkin tak banyak berubah. Tapi justru di situ letak kekuatannya. Tempat ini tetap menjadi rumah, walau kami sudah lama pergi,” pungkas Opa.
Dan di antara tawa anak-anak, pelukan hangat nenek, serta riak Sungai Comal yang tenang, semua rasa rindu itu akhirnya terbayar lunas.