Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama hampir dua tahun memposisikan masyarakat dalam masa yang sulit. Dalam berbagai aspek masyarakat mengalami kesulitan. Penurunan kualitas ekonomi, pendidikan, sosial dan lain-lain. Keadaan ini yang kemudian melahirkan berbagai macam opini dan “konspirasi” terutama di era teknologi yang dibantu oleh media.
Segelintir masyarakat yang mencurahkan pendapat mereka tentang situasi pandemi dalam konteks negatif seperti tidak percaya akan adanya virus, kebohongan pihak medis, kebijakan pemerintah yang tidak efisien, dan lain-lain.
Hal tersebut akan dengan mudah menggiring opini banyak orang yang pada akhirnya merugikan berbagai pihak. Terlepas dari seberapa besar cakupan kebebasan berekspresi, seharusnya dalam pelaksanaan hal ini perlu ada batasan.
Berbagai permainan untuk menggiring opini publik dilakukan semata-mata demi mencapai target dan kepuasan. Karakter dunia media di masa post-truth ini dimanfaatkan oleh siapapun yang punya kepentingan untuk mempermainkan emosi publik.
Opini Publik
Meskipun ungkapan “opini publik” sering digunakan oleh jurnalis, politisi, dan juru bicara untuk kelompok, konsepnya tetap kabur. Tidak hanya ambigu dalam penggunaan sehari-hari, maknanya juga menjadi bahan perdebatan ilmiah. Gagasan opini publik telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ilmuwan sosial selama beberapa dekade.
Tidak mengherankan bahwa perselisihan yang dihasilkan dari opini publik ini tidak ada habisnya, karena opini publik adalah gagasan yang melambangkan kesenjangan antara berbagai posisi ideologis dan tradisi intelektual. Definisi kedua dari opini publik ditemukan dalam teori kritis.
Opini publik bukanlah jumlah dari opini individu tetapi dibangun oleh aktor sosial yang tertarik untuk mengaitkan rencana mereka dengan kehendak rakyat untuk meningkatkan legitimasi mereka. Perspektif ini bersandar pada pertentangan intelektual yang mendalam dengan perspektif positivis pluralis liberal.
Post-Truth
Post-truth lebih tepat disebut lawan kata dari fact-checking: relativisasi kebenaran berhadapan obyektivitas data. Kamus Oxford membuat kata ‘post-truth’ sebagai Word of The Year di tahun 2016.
Hal tersebut merujuk pada penggunaan yang berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Era post-truth ditandai dengan merebaknya berita hoax di media, baik media massa maupun media sosial.
Keadaan ini dibuktikan bukan hanya karena perkembangan teknologi tetapi juga kondisi masyarakat yang semakin kritis dalam berpikir. Kepercayaan tidak bisa diperoleh serentak begitu saja karena sifatnya yang masih diragukan, namun kebohongan justru menjadi kunci utama di era ini. Kebohongan dengan mirisnya dijadikan acuan oleh beberapa kelompok dalam mengutarakan pesannya.
Orang-orang akan lebih menangkap hal tersebut karena umumnya disertai dengan data-data yang masuk ke dalam logika konsumennya.
Psikologi dalam Era Post-Truth
Psikologi mempunyai kunci utama dalam mengatasi era post-truth, yaitu mampu membantu membedakan antara kepercayaan dan fakta serta memahami kekuatan dan batas keduanya.
Hal ini menjadi lebih penting jika diberlakukan di sosial media dan di dunia literasi informasi terutama di kalangan pengguna berbagai usia, baik pengguna baru (muda) dan lama (tua).
Kemampuan untuk menentukan dan mempunyai benteng diri dalam menyaring segala informasi di media sosial merupakan kemampuan paling penting yang seharusnya diajarkan sejak dini dikarenakan perkembangan media sosial yang sangat mendominasi IPTEK saat ini.
Dalam pandangan Grayling, era post-truth bukan saja penuh aroma nasistik, tapi sekaligus nasistik yang mengerikan. Ketika media apapun dapat dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta, dan setiap orang bisa mempublikasikan opininya sendiri, maka fakta apapun akan tenggelam oleh kerasnya suara pengirim pesan.
Menurut Glăveanu (2017) setiap orang dapat menerbitkan opininya, setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan yang paling repot, setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah yang diangkat sebagai ‘kebenaran’, bukan faktanya.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2021 acara Hotman Paris Show menghadirkan bintang tamu bernama dr. Lois untuk membahas kasus COVID-19 yang keadaannya tidak kunjung membaik di Indonesia. Sosok dr. Lois sebagai dokter memberi kesan eligible karena profesinya sehingga pendapat yang diutarakan olehnya akan memberikan dampak kepada masyarakat.
Dokter Lois mengatakan bahwa ia tidak percaya dengan adanya virus corona. Sontak hal tersebut menjadi buah bibir masyarakat Indonesia yang pada masa ini sifatnya cenderung mudah terbawa arus media. Dokter Lois mengatakan bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit bukan disebabkan corona melainkan karena interaksi obat. Padahal kenyataannya orang datang ke rumah sakit karena merasa sakit, bahkan sebelum diberikan obat.
Hal tersebut menggiring opini masyarakat Indonesia yang berujung perselisihan. Pembicaraan Dokter Lois dengan Hotman Paris menyebar di media secepat kilat.
Alih-alih membuat keadaan membaik, hal tersebut memengaruhi psikologi masyarakat sehingga beredar “konspirasi” mengenai keberadaan virus corona. Berbagai portal berita dan akun gossip, juga pengguna media sosial yang bersifat individual berbondong-bondong mem-posting hal ini.
Meskipun pandemi sudah dua tahun berlangsung, pemberitaan sekecil itu dapat mengganggu bahkan memecah belah masyarakat. Dengan ini, negara Indonesia akan sulit untuk bebas dari cengkraman pandemi virus corona. Dikarenakan masyarakat yang mudah terguncang oleh satu opini, berbagai macam kemungkinan untuk memperlambat keadaan menjadi lebih baik akan terus membelenggu masyarakat.
Sebagai pengguna media, masyarakat harus lebih bijak dalam memilah-milah dan memercayai suatu fenomena. Keputusan seseorang dalam bertindak memengaruhi banyak orang dan keadaan sehingga masyarakat harus bisa meminimalisir perbuatan yang dapat merugikan.
Pandemi COVID-19 bukanlah sebuah konspirasi, jika kenyataan tersebut sulit untuk dihadapi atau diterima, maka lakukanlah cross check dan cari sumber untuk membuka wawasan agar lebih luas dan tidak terpaku hanya pada satu opini. Setiap orang harus menjauhi diri dari hal yang negatif dan merugikan, patuhi perintah dan protocol kesehatan agar negara Indonesia dapat terbebas dari virus corona. Selamatkanlah diri sendiri, selamatkan bangsa.