Kasus penganiayaan terhadap APA (11), bocah asal Mojokerto, yang diduga disiksa oleh ayah tirinya sendiri, adalah tragedi yang mengguncang hati banyak orang. Luka di kepala, tubuh yang penuh memar, dan trauma mendalam menjadi bukti nyata betapa kejamnya perlakuan yang dialami korban. Fakta yang diungkap oleh Komnas PA Jawa Timur semakin memperjelas bahwa tindakan ini bukan sekadar kekerasan biasa, melainkan penyiksaan yang sistematis.
Namun, kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Setiap tahun, ratusan anak di Indonesia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, sebagian besar dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka. Ironisnya, meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengatur sanksi berat, banyak kasus yang berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan impunitas.
Keberadaan hukum yang jelas tidak serta-merta menjamin keadilan bagi korban. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memang mengatur ancaman pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Namun, dalam praktiknya, putusan pengadilan sering kali lebih ringan dari yang seharusnya. Banyak pelaku kekerasan anak yang hanya dijatuhi hukuman beberapa tahun atau bahkan mendapat keringanan hukuman dengan berbagai alasan.
Lemahnya implementasi hukum ini berdampak buruk pada penegakan keadilan. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem peradilan, sementara para pelaku kejahatan merasa tidak jera karena tahu bahwa hukuman yang mereka terima bisa dinegosiasikan. Akibatnya, kekerasan terhadap anak terus berulang, seolah menjadi bagian dari siklus yang sulit diputus.
Dalam kasus di Mojokerto, pelaku diduga tidak hanya memukul, tetapi juga menyiksa korban dengan cara-cara yang kejam: tangan diikat dengan rantai, dipukul dengan kayu, hingga disetrum. Ini bukan sekadar tindakan spontan akibat emosi sesaat, melainkan perilaku sadis yang mencerminkan karakter pelaku sebagai individu yang berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan ada korban lain di masa depan.
Oleh karena itu, tuntutan agar pelaku mendapatkan hukuman maksimal bukanlah sekadar dorongan emosional, melainkan kebutuhan mendesak demi mencegah kekerasan serupa terjadi lagi. Jika hukum benar-benar ditegakkan dengan tegas, akan ada efek jera yang bisa mencegah orang lain melakukan tindakan serupa.
Selain sanksi pidana, pendekatan rehabilitasi terhadap korban juga harus menjadi perhatian utama. Anak yang mengalami kekerasan berat seperti APA tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga mengalami trauma psikologis yang bisa mempengaruhi masa depannya. Tanpa pendampingan yang memadai, mereka berisiko mengalami gangguan emosional, kesulitan dalam membangun kepercayaan terhadap orang lain, hingga mengalami kesulitan akademik. Negara tidak boleh hanya fokus pada menghukum pelaku, tetapi juga harus memastikan korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang layak.
Kasus ini juga mengingatkan bahwa perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Guru yang pertama kali menyadari luka di tubuh korban memainkan peran penting dalam mengungkap kasus ini. Namun, tidak semua anak seberuntung APA yang mendapat perhatian dari lingkungannya. Masih banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak pernah terungkap karena korban memilih diam atau karena masyarakat sekitar enggan untuk terlibat.
Maka, kepedulian terhadap lingkungan sekitar menjadi hal yang sangat penting. Jika ada anak yang tiba-tiba menjadi pendiam, sering terluka tanpa alasan jelas, atau menunjukkan tanda-tanda trauma, itu bisa menjadi indikasi bahwa mereka sedang mengalami kekerasan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat tidak boleh tinggal diam. Pelaporan ke pihak berwenang atau lembaga perlindungan anak bisa menjadi langkah awal dalam menyelamatkan nyawa seorang anak.
Lebih jauh lagi, perlu ada reformasi kebijakan dalam perlindungan anak, termasuk memperkuat sistem pengawasan terhadap keluarga yang berisiko tinggi melakukan kekerasan. Lembaga-lembaga seperti Komnas PA dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus memiliki wewenang yang lebih besar dalam melakukan intervensi terhadap kasus-kasus yang mencurigakan. Selain itu, program edukasi bagi orang tua tentang pola asuh yang sehat dan bebas kekerasan harus digalakkan secara lebih masif.
Kekerasan terhadap anak adalah kejahatan yang tidak bisa ditoleransi dalam bentuk apa pun. Jika kita ingin membangun generasi masa depan yang sehat secara fisik dan mental, maka negara harus memastikan bahwa pelaku kekerasan mendapatkan hukuman yang setimpal, korban mendapatkan perlindungan yang layak, dan masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencegah tindakan keji semacam ini terjadi lagi.
Keberanian untuk bersikap tegas terhadap pelaku kekerasan anak bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga tentang menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka kita sedang membiarkan generasi mendatang hidup dalam bayang-bayang ketakutan.