London — Satu hal yang menjadi penghubung kehidupan seluruh wanita Muslim di dunia adalah hijab. Keberadaan kain penutup kepala ini merupakan hal yang lumrah terlihat, terlepas dari bagaimana pemakaiannya.
Pada Hari Jilbab Sedunia, wanita (termasuk Muslim non-hijabi dan non-Muslim) diundang untuk mengenakan jilbab persegi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas, serta mendidik dan meningkatkan kesadaran tentang alasan begitu banyak wanita Muslim di seluruh dunia memilih untuk memakainya.
Didirikan oleh Nazma Khan pada 2013, Hari Jilbab Dunia adalah kesempatan bagi wanita Muslim untuk merayakan pilihan mereka mengenakan syal, di mana pilihan itu sarat dengan konotasi negatif dan hipervisibilitas. Ini juga menggambarkan spektrum besar wanita Muslim berhijab.
Bagi umat Islam, jilbab lebih dari selembar kain. Ia adalah kode kesopanan dan praktik keagamaan yang mewujudkan iman dan menginformasikan cara mereka bergerak, berbicara dan bahkan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain.
Dilansir di Stylist, Rabu (2/2), keberadaan jilbab telah mengambil posisi yang kompleks dalam masyarakat. Bagi sebagian orang itu adalah simbol penindasan, namun bagi yang lain, jilbab membangkitkan rasa kebebasan. Seringkali para wanita berhijab terjebak di tengah perbedaan ini.
Di Hari Jilbab Sedunia ini, ada lima wanita Muslim Inggris yang akan bercerita tentang hubungan mereka dengan jilbab, serta dampaknya terhadap kehidupan mereka.
Muslim pertama adalah Salsabil, pendiri SE Interiors di Edinburgh. Wanita berusia 30 tahun ini menyebut ketika berusia 11 tahun, ia dan keluarga pindah ke kota lain dan merasa itu adalah waktu yang tepat untuk mengenakan jilbab.
“Kakak perempuan dan ibu saya adalah panutan yang hebat. Yang saya inginkan hanyalah terlihat seperti mereka,” ucap dia.
Berpakaian sopan bagi dirinya adalah perjalanan yang panjang. Tetapi, kecintaannya pada desain interior dan fashion membuat ia lebih percaya diri mengenakan jilbab, dengan cara yang benar-benar mewakili dirinya.
“Mengenakan jilbab tidak pernah menjadi perjalanan yang mudah, tetapi saya suka dan itu selalu menjadi pengingat identitas dan cinta yang saya miliki untuk agama saya,” lanjutnya.
Perempuan lainnya adalah Amina, seorang akademisi dan pendiri The Page Doctor di London. Tahun ini, ia merayakan satu dekade sebagai wanita Muslim berhijab.
Seiring tumbuh dewasa, ia melihat sang ibu mengenakan jilbab tanpa penyesalan. Karena itu, ia tahu suatu hari dirinya juga akan mengenakan jilbab.
“Ketika saya memulai gelar master, secara spontan saya memutuskan mengenakan jilbab dan tidak pernah menoleh ke belakang. Bagi saya, hijab adalah identitas saya. Di dunia akademis, saya sering menjadi satu-satunya wanita berhijab di ruangan itu,” ucap dia.
Jilbab bagi wanita berusia 30 tahun ini adalah pengingat diri tentang moral dan cara hidup yang ia pilih untuk dijalani. Sekarang, ia melihat jilbab lebih dari sekedar barang fisik yang menutupi rambut, tetapi faktor penentu siapa dirinya dan apa yang ia perjuangkan.
Bagi Farrah, hubungannya dengan hijab tidak pernah berjalan lurus, begitu pula pengalamannya menuju Islam. Ia tidak memakai jilbab, sehingga tidak mudah dikenali sebagai seorang Muslim.
Wanita berusia 40 tahun ini menyebut kebanyakan orang-orang yang bekerja dengannya baru mengetahui jika ia seorang Muslim jika ia mengatakan harus pergi untuk sholat, atau ketika ia sedang berpuasa.
“Kebanyakan orang terkejut. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah ‘Mengapa kamu tidak memakai hijab?’,” ujar wanita yang tinggal di Birmingham ini.