Di tengah bisingnya zaman postmodern yang dipenuhi oleh kemajuan teknologi dan materialisme, banyak manusia mengalami kekosongan batin. Mereka dikelilingi oleh keramaian, tetapi merasa sepi. Hal ini mencerminkan paradoks spiritual yang kerap terjadi dalam masyarakat modern.
Fenomena ini tidak hanya psikologis, tetapi juga spiritual. Dalam tradisi tasawuf, orang-orang yang mampu menjaga cahaya spiritual di tengah kegelapan dunia disebut sebagai ghuraba—mereka yang asing di dunia, tetapi dekat dengan Allah. Menurut Al-Ghazali (dalam Ihya Ulumuddin), dunia adalah tempat ujian; bagi mereka yang lupa kepada Sang Pencipta, dunia menjadi penjara hati.
Para peneliti kontemporer mengamati bahwa disonansi antara kehidupan luar dan kondisi batin menyebabkan banyak individu mengalami depresi eksistensial. Sebuah studi oleh Koenig (2012) menyatakan bahwa “kesejahteraan spiritual memiliki dampak signifikan dalam mengurangi kecemasan dan isolasi batin” (Koenig, 2012). Ini sejalan dengan konsep dzauq, kenikmatan dalam ibadah yang hilang dari banyak orang modern.
Dalam puisinya, Jalaluddin Rumi menegaskan:
“Manusia mencari kebahagiaan di luar, padahal kebahagiaan ada di hati yang mengenal Tuhan.”
Rumi menyiratkan bahwa keterhubungan dengan Tuhan adalah sumber makna dan ketenangan yang sejati.
Mereka yang hidup dalam kesendirian tetapi merasa “ramai” sesungguhnya telah menemukan ketenangan spiritual. Mereka melakukan uzlah—menyepi bukan untuk menghindar dari dunia, tapi untuk menghadirkan Allah dalam diri. Praktik ini dikaji dalam jurnal Tasawuf dan Psikoterapi Islam oleh Nurhidayati (2020), yang menyimpulkan bahwa uzlah secara berkala memperkuat ketahanan jiwa dan ketenteraman psikologis (Nurhidayati, 2020)
Kesunyian fisik yang diisi oleh muraqabah (kesadaran akan Allah), mahabbah (cinta Ilahi), dan ma’rifah (pengenalan terhadap Allah) mengangkat jiwa dari kehampaan. Ini seperti yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ saat bertafakur di Gua Hira, atau Rabiah Al-Adawiyah yang dalam kesendiriannya merasakan limpahan kasih Ilahi.
Spiritualitas Islam menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Seorang sufi sejati bisa hidup dalam keramaian tanpa kehilangan jiwanya, dan dalam kesendirian tanpa merasa sunyi. Hal ini disebut kesadaran ruhaniyah yang stabil, yang telah terbukti secara empiris mampu mendorong ketenangan emosi, seperti dikaji dalam Journal of Religion and Health oleh Rezaei et al. (2020) yang menemukan bahwa praktik spiritual Islam berdampak signifikan terhadap ketahanan mental (Rezaei et al., 2020).
Maka bagi siapa saja yang merasa sunyi dalam gemuruh dunia, kembalilah kepada dzikir, tafakur, dan keheningan batin. Dan bagi mereka yang memilih kesendirian, penuhilah hati dengan kesadaran akan kehadiran Allah.
Sebab, seperti dikatakan para sufi, yang penting bukanlah di mana tubuh berada, tetapi dengan siapa hati terhubung