Dalam lanskap industri kreatif, lagu merupakan salah satu ciptaan yang mendapat perlindungan hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Perlindungan tersebut mencakup dua aspek penting, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral melindungi integritas dan atribusi pencipta, sedangkan hak ekonomi berkaitan erat dengan hak untuk memperoleh manfaat finansial, seperti royalti, dari pemanfaatan komersial ciptaan.
Pasal 40 ayat (1) huruf d UUHC secara eksplisit mengatur bahwa lagu dan/atau musik termasuk dalam kategori ciptaan yang dilindungi. Artinya, pencipta lagu memiliki hak eksklusif atas penggunaan, pendistribusian, penggandaan, serta pertunjukan publik dari karya mereka. Dalam konteks ini, royalti menjadi instrumen utama untuk mengaktualisasikan hak ekonomi tersebut. Penggunaan komersial seperti konser, layanan streaming, radio, hingga video cover yang menampilkan lagu, pada prinsipnya harus memberikan imbalan kepada pencipta melalui pembayaran royalti yang layak.
Namun demikian, satu pertanyaan penting yang kerap muncul adalah apakah seorang pencipta lagu boleh secara langsung meminta royalti kepada penyanyi atau pengguna karya lainnya? Jawaban secara hukum adalah tidak. UU Hak Cipta telah mengatur bahwa mekanisme penghimpunan dan distribusi royalti tidak dilakukan secara langsung oleh pencipta, melainkan melalui perantara yang sah yakni Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Pasal 1 angka 22 UUHC menyatakan bahwa LMK merupakan organisasi yang diberi wewenang oleh pencipta atau pemegang hak untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti atas penggunaan karya tersebut. Dengan demikian, setiap penggunaan komersial atas lagu wajib dibayarkan royalti-nya melalui LMK, bukan langsung kepada pencipta.
Larangan penarikan royalti secara langsung ini memiliki beberapa dasar yang sangat rasional. Secara hukum, hal ini tercermin dalam Pasal 23 ayat (5) UUHC yang memperbolehkan penggunaan karya tanpa izin langsung dari pencipta, asalkan pembayaran royalti dilakukan melalui LMK. Tujuannya adalah untuk menciptakan kepastian hukum, transparansi, dan efisiensi dalam sistem royalti. Bayangkan jika setiap pencipta harus menagih royalti secara pribadi kepada ratusan atau bahkan ribuan pengguna—maka sistem ini akan menjadi tidak efisien dan rawan konflik. LMK menjadi solusi struktural untuk memastikan bahwa pencipta tetap mendapatkan hak ekonomi mereka secara adil, sambil menjaga ekosistem kreatif tetap sehat dan teratur.
Dalam sistem ini, terdapat dua institusi penting yang perlu dipahami, yaitu LMK dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMK berperan secara teknis untuk menghimpun royalti dari pengguna dan mendistribusikannya kepada pencipta berdasarkan data penggunaan aktual. Contoh LMK yang ada di Indonesia, seperti Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI), secara khusus menangani royalti di bidang musik. LMK juga memiliki tanggung jawab dalam melakukan pemantauan dan penegakan terhadap pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, LMKN memiliki cakupan kerja yang lebih luas. LMKN tidak hanya mengoordinasikan berbagai LMK yang ada, tetapi juga berperan dalam perumusan kebijakan, pengawasan distribusi royalti, serta menjadi penghubung antara LMK, pemerintah, dan pelaku industri kreatif lainnya.
Keberadaan LMK dan LMKN menjadi sangat penting dalam mewujudkan perlindungan hak cipta yang efektif. Tanpa adanya lembaga ini, pencipta akan menghadapi kesulitan besar dalam menagih royalti, terutama dalam skala besar dan lintas platform. LMK menjamin bahwa perhitungan royalti dilakukan secara adil dan objektif, misalnya berdasarkan data pemutaran lagu, jumlah pertunjukan, atau frekuensi penggunaan lainnya. Sementara LMKN memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai standar hukum nasional serta mendorong integritas dan efisiensi di seluruh jaringan LMK.
Namun demikian, sistem ini tidak luput dari tantangan. Masih banyak pencipta, khususnya generasi muda, yang belum memahami pentingnya bergabung dengan LMK sebagai prasyarat untuk memperoleh hak ekonomi secara sah. Di sisi lain, transparansi dalam pelaporan dan distribusi royalti oleh beberapa LMK juga masih menjadi sorotan. Untuk itu, edukasi hukum kepada pelaku industri kreatif perlu digencarkan. Pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap kinerja LMK dan LMKN agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tugasnya.
Sebagai bagian dari penegakan hak kekayaan intelektual, penting bagi para pencipta untuk mendaftarkan karyanya ke LMK yang resmi. Begitu pula bagi para pengguna karya, termasuk penyanyi, promotor, atau platform digital, mereka wajib memahami bahwa pembayaran royalti harus dilakukan melalui LMK. Hal ini bukan hanya persoalan administratif, melainkan bentuk ketaatan pada hukum dan penghormatan terhadap hak cipta sebagai fondasi etika dalam industri kreatif.
Penarikan royalti yang dilakukan tanpa melalui LMK tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik antar pelaku industri. Oleh karena itu, kolaborasi antara pencipta, LMK, LMKN, serta pemerintah sangat penting untuk memastikan sistem hak cipta berjalan dengan baik dan memberikan perlindungan yang optimal.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa menghargai karya musik bukan hanya soal apresiasi artistik, tetapi juga soal penghormatan terhadap hak dan jerih payah penciptanya. Lagu yang kita nikmati setiap hari adalah hasil dari proses kreatif yang panjang, dan sudah semestinya dilindungi oleh sistem hukum yang adil dan transparan.
Oleh: Muhammad Iqbal, S.H., M.H.
Advokat dan Konsultan Hukum Kekayaan Intelektual – MIQ Law Firm