Nganjuk – Irama kehidupan sehari‑hari di pedesaan yang tenang ternyata menyelubungi sebuah kenyataan pahit: seorang balita di Kabupaten Nganjuk yang menderita gizi buruk parah baru terdeteksi setelah lebih dari satu tahun luput dari pantauan. Ibarat “terbang di bawah radar”, kondisi anak ini mengungkap celah serius dalam sistem pemantauan sosial dan kesehatan masyarakat.
Kejadian ini bermula ketika seorang anak bernama Apri (7 tahun), warga Desa Kelutan, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, ditemukan dalam kondisi kritis setelah selama setahun hampir tidak terjangkau oleh perangkat desa dan sektor kesehatan. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Daerah Kertosono selama 13 hari, kemudian harus dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Berat badannya tercatat hanya 7 kg dengan tinggi 70 cm, tubuhnya kurus, pertumbuhan terganggu, massa otot menipis—menunjukkan gizi buruk dalam tahap sangat serius.
“Kondisi pertama kali datang, pasien lemah, kejang, napas tidak teratur dan gula darah mencapai 513. Kondisinya parah, bisa dikatakan fatal,” ujar aktivis kesehatan Tanty Niswatin, yang memantau dari rumah sakit.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas PA Jatim, Jaka Prima, dalam keterangannya di Mojokerto, menyatakan keprihatinan mendalam atas temuan kasus gizi buruk yang kondisinya cukup memprihatinkan. Salah satu kasus yang disoroti adalah kondisi Apri (7), seorang anak asal Desa Kelutan, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, yang dilaporkan harus menjalani perawatan medis setelah menderita gizi buruk sekitar kurun waktu setahun terakhir.
“Kami masih menemukan banyak anak-anak di berbagai daerah, khususnya Jawa Timur, mengalami gizi buruk, bahkan sampai kondisinya cukup memprihatinkan,” kata Jaka, Senin (3/11/2025).
Ia menegaskan bahwa faktor ekonomi masih menjadi penyebab utama anak kekurangan gizi. Oleh karena itu, Komnas PA Jatim menekankan pentingnya komitmen keberlanjutan dari Pemerintah Daerah Nganjuk dan pemerintah desa untuk proaktif mendata warganya yang masuk dalam kategori keluarga kurang mampu dan rawan gizi buruk.
“Yang diperlukan adalah komitmen dari pemda dan aparat desa itu bagaimana melakukan pendataan secara berkesinambungan sehingga dapat diketahui keluarga mana yang anak-anaknya berpotensi terganggu masalah gizi. Itu adalah langkah awal dalam menekan angka anak kurang gizi buruk,” tegas pengacara muda asal Kota Mojokerto itu.
Pihak Dinas Sosial Kabupaten Nganjuk kemudian bergerak cepat setelah pemberitaan menjadi viral. Kepala Dinas, Haris Sudjatmiko, mengatakan bahwa koordinasi dengan pendamping desa dan perangkat desa segera dilakukan untuk memastikan penanganan keluarga diteruskan. Dia juga menjelaskan bahwa keluarga tersebut sebelumnya sudah menerima berbagai bantuan—kursi roda, bantuan sosial, BPJS, sembako PKH—tetapi pemantauan gizi dan tumbuh‑kembang anak ternyata belum berjalan optimal.
Analisis menunjukkan beberapa faktor yang berkontribusi: keluarga kurang mampu yang masuk kategori bantuan sosial, namun klasifikasi “desil 6 atau 7” membuat mereka otomatis tidak mendapatkan beberapa program bantuan. Selain itu, pengawasan perangkat desa kurang intens terhadap keluarga yang berisiko, terutama dalam pemantauan gizi balita dan anak usia sekolah awal.
Latar belakang kasus ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Nganjuk masih cukup tinggi (sekitar 17,1 %)—masih di atas target nasional sebesar 14 %. Artinya, bukan hanya satu kasus saja yang perlu diantisipasi, tetapi juga risiko sistemik yang memperlihatkan bahwa jaringan pemantauan gizi dan pertumbuhan anak di kabupaten tersebut belum sepenuhnya efektif.
Dampak sosialnya pun nyata: gizi buruk tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik anak, tetapi juga potensi tumbuh kembang, pendidikan, dan kualitas hidup di masa depan. Jika tidak segera diatasi, maka generasi kecil akan menghadapi beban ganda—kesehatan yang terganggu dan kesempatan yang terbatas.
Penanganan yang telah dilakukan yaitu pendampingan psikososial, pemberian bantuan dukungan (sosial, medis), serta pemantauan berkala oleh Dinas Sosial. Meski demikian, ke depan dibutuhkan langkah sistemik: pembaruan data rutin, peningkatan kapasitas pendamping desa/posyandu, serta intervensi gizi yang terintegrasi antara sektor kesehatan, sosial, dan pendidikan.
Kasus ini menjadi alarm bagi seluruh stakeholder di Kabupaten Nganjuk dan wilayah sejenis untuk memperkuat sistem pemantauan anak-keluarga rentan. Kegagalan mendeteksi sejak awal bukan hanya kegagalan teknis, tetapi juga cerminan komitmen yang harus terus ditegakkan.
Sebagai penutup, tindakan cepat memang sudah dilakukan, namun mencegah tentu jauh lebih baik daripada menunggu kondisi memburuk. Semua pihak—desa, dinas terkait, masyarakat—harus berjalan bersama memastikan tidak ada lagi balita yang “terbang di bawah radar” tanpa perhatian.
