Jejak suci penyebaran Islam di Kutai Kartanegara menjadi kisah berharga yang menegaskan bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya. Di tanah kerajaan tertua di Indonesia ini, Islam tidak datang dengan pedang, melainkan dengan keteduhan hati seorang ulama bernama Tuan Tunggang Parangan.
Menurut penelitian akademisi IAIN Samarinda, Samsir, dalam Jurnal Ri’ayah (2018), Islam mulai diterima secara resmi di Kerajaan Kutai Kartanegara pada awal abad ke-17. Prosesnya berlangsung perlahan namun pasti—bukan lewat perang, tetapi lewat dialog, keteladanan, dan kebijaksanaan dakwah dari istana.
“Setelah Islam diterima oleh raja dan masyarakat Kutai dengan cara damai, Raja Mahkota memerintahkan rakyatnya meninggalkan ajaran lama,” tulis Samsir dalam penelitiannya.
Dakwah dari Gowa ke Kutai
Tuan Tunggang Parangan dikenal sebagai mubalig asal Sumatra yang sebelumnya berperan penting dalam mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan sekitar tahun 1605. Bersama sahabatnya, Datuk Ribandang, ia menyeberangi Selat Makassar menuju pesisir Kalimantan Timur. Di wilayah dagang yang ramai ini, ajaran Islam mulai berakar.
Metode dakwahnya dikenal sebagai pendekatan “dari atas ke bawah”. Ia memulai langkahnya bukan dari rakyat, tetapi dari penguasa Kutai—Raja Mahkota, yang kemudian mengucap dua kalimat syahadat sekitar tahun 1607 Masehi. Setelah sang raja memeluk Islam, rakyat pun mengikuti jejaknya dengan penuh sukarela.
Tak lama berselang, berdirilah Masjid Jami Kutai Lama di Anggana sebagai pusat penyebaran Islam. Dari sinilah lahir generasi guru dan ulama lokal yang membawa dakwah hingga ke pedalaman Mahakam.
Perdagangan dan Perkawinan sebagai Jembatan Dakwah
Selain istana, Islam juga menyebar lewat jalur perdagangan dan perkawinan. Pedagang Muslim dari Banjar, Makassar, Jawa, dan Melayu datang membawa barang dagangan bersama nilai-nilai Islam. Etika berdagang mereka yang jujur dan rendah hati membuat masyarakat Kutai tertarik.
Banyak mubalig kemudian menikah dengan penduduk setempat, termasuk keluarga bangsawan. Perkawinan ini menjadi jembatan sosial dan kultural, memperkuat penerimaan Islam tanpa menghapus adat lokal.
Islam dan Kearifan Budaya
Setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan, masjid dan langgar berkembang menjadi pusat pendidikan. Anak-anak diajarkan tauhid, salat, dan akhlak lewat dua metode: munfarid (individual) dan halaqah (kelompok). Dakwah juga disebarkan lewat kesenian dan upacara adat, menciptakan harmoni antara tradisi dan iman.
Pendekatan ini melahirkan wajah Islam yang khas Nusantara—ramah, santun, dan mencintai kebudayaan. Kutai Kartanegara pun tumbuh menjadi simbol Islam yang berpadu dengan adat lokal tanpa kehilangan ruh keislamannya.
Dari Kerajaan ke Kesultanan
Transformasi besar terjadi ketika Raja Mahkota bergelar Aji Raja Mahkota Mulia Islam. Ia mengganti sistem kerajaan menjadi kesultanan, menjadikan Islam dasar dalam pemerintahan dan hukum. Penerusnya, seperti Aji Dilanggar dan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura, melanjutkan misi dakwah dan memperluas wilayah kekuasaan hingga Kutai Martapura.
Warisan yang Tak Pernah Pudar
Hingga kini, makam Tuan Tunggang Parangan di Kutai Lama menjadi tujuan ziarah dan refleksi spiritual masyarakat Kalimantan Timur. Sosoknya dihormati sebagai pelopor dakwah damai yang memperkenalkan Islam tanpa memaksa, tetapi dengan cinta dan kebijaksanaan.
Seiring waktu, semangat dakwah itu dilanjutkan oleh organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam, yang menjadikan Kutai Kartanegara sebagai benteng moral dan sosial hingga era modern.
Islam di Kutai Kartanegara bukan hanya sejarah, tetapi cermin kedamaian dan toleransi yang lahir dari hati. Dari istana hingga rakyat, dari perdagangan hingga pendidikan, semua berjalan dalam satu nafas: menghidupkan iman lewat kearifan.
