Jakarta – Serangan Israel yang sangat bertubi-tubi menghantam bumi Palestina membuat gerakan boikot memuncak. Gerakan boikot ini untuk produk dari dan pendukung Israel yang semakin digaungkan oleh masyarakat dunia.
Sejumlah perusahaan yang menjadi sasaran boikot mulai ketar-ketir. Mereka memberikan klarifikasi karena gerakan boikot sudah berdampak pada berkurangnya jumlah pelanggan produk mereka.
Israel Rugi Hingga 180,48 Triliun
Meskipun belum ada laporan nilai kerugian terbaru yang diderita Israel, laporan Al Jazeera pada 2018 lalu mengungkap bahwa gerakan boikot berpotensi menimbulkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp180,48 triliun (asumsi kurs Rp15.694/US$) per tahun bagi Israel.
Israel jelas khawatir terhadap dampak kerugian ini. Dalam beberapa waktu terakhir, misi prioritas diplomatik Israel adalah penanggulangan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).
Bahkan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah bertindak untuk melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot. Sebab, ribuan orang di Israel disebut berpotensi kehilangan pekerjaan jika negara mereka diboikot secara penuh oleh internasional.
Boikot Sangat Berdampak Pada Perekonomian Israel
Melansir dari The Jerusalem Post, Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka. Justru, mereka menyebutkan jika hal itu hanya akan “menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya.”
Organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution. Ia menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel. Sebab, sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediet”. Dengan kata lain produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.
Selain itu, sekitar 50 persen dari ekspor Israel adalah barang “diferensiasi”. Selain itu juga barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer khusus yang melakukan ekspor.
Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang “intermediet” mengalami penurunan tajam. Penurunan tersebut dari 2014 hingga 2016 sehingga menimbulkan kerugian sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp94,16 triliun.